Senin, 29 Desember 2014

Cabut


Pulang berpikul ribuan mendung
nestapa nggunung

Dari mata ngepul kabut
solek berparas ngabu kalut

Nafsu tumbuh belukar berserabut
cinta tinggal dongeng hijaunya rumput

Mari senyapkan dengung
mari kepala digantung

Jumat, 26 Desember 2014

13th at Friday

 
Mengapa tidak Friday the 13th? Karena di sini saya tidak akan menuliskan tentang film horror produksi Amerika yang di rilis tahun 2009 itu. Ataupun hari Jumat tanggal 13 yang dipercaya mengandung berbagai misteri, mitos, dan lain sebagainya. Tidak sama sekali karena angka 13 yang saya maksud juga bukan berupa tanggal, melainkan sesuatu yang menurut saya istimewa dan perlu saya tulis. Benar, angka 13 sendiri sering disebut angka sial dan patut dihindarkan. Maka dari itu di beberapa negara seperti Amerika, China, bahkan di Indonesia, tidak akan kita jumpai gedung-gedung pencakar langit yang memiliki lantai 13 di dalamnya. Di dunia ini sendiri terdapat bermacam-macam kepercayaan, mitos, dan legenda, yang tidak terhitung banyaknya. Namun bagi kaum rasionalis, kepercayaan-kepercayaan orang-orang tua tersebut malah ikut punah seiring dengan modernisasi yang merambah di seluruh sisi kehidupan manusia. Bergantung kita ingin percaya dengan hal semacam itu atau tidak sama sekali. Kalau saya jelas tidak. Apalagi mengenai hari Jumat tanggal 13 yang sering dianggap keramat. Saya malah lebih suka mempercayai bahwa hari Jumat kliwonlah yang paling keramat. Maklumlah, wong jowo tulen bung! Hehehe-- Memang terkadang kita harus membuktikan terlebih dahulu sebuah hipotesis yang sudah dianggap benar oleh kebanyakan orang namun belum tentu benar. Memang ada peluang mitos itu muncul dan benar-benar terjadi beberapa kali dalam sebuah kehidupan, tetapi tidak akan mungkin bila mitos yang ditakutkan akan berlaku sepanjang hidup. Cukup mengenai mitos, saya akan membahas tentang angka 13 yang saya alami Jumat sekarang. 13 adalah rekam jejak setelah berlalunya 12; 13 adalah catatan tentang manis pahit sebuah labirin kehidupan; 13 adalah proses sederhana menuju kesempurnaan hakiki; 13 merupakan jalan untuk menembus angan-angan yang masih berawan; 13 adalah doa yang telah terkabulkan juga janji yang telah tertepatkan; 13 adalah keistimewaan yang jelas diberikan oleh Tuhan di hari Jumat; dan 13 adalah kebahagiaan yang tak akan pernah saya lupakan. Setidaknya itu adalah kata-kata yang pantas untuk menggambarkan 13 yang saya alami Jumat sekarang. 13 bulan telah terlewati tepat di hari Jumat, sayang. Semoga tidak ada kesialan yang menimpa. Semoga tidak ada mitos yang berlaku. Aku akan mencintaimu, tak hanya sampai 13 bulan saja. Berbahagialah di hari yang dikata sial ini, tentunya hanya bersamaku.

Sabtu, 13 Desember 2014

Kurt Cobain Jauh Lebih Beriman dari Fir'aun!


Tak pelak lagi, saat menghidupi hidup, tak akan jarang kita temui berbagai kesulitan, cobaan dan hambatan. Begitulah jalan yang akan dilalui semua umat untuk mencapai setingkat derajat yang lebih tinggi. Mengenai hal itu, kita tidak akan pernah ngeh tentang kesulitan apa saja yang tengah menghadang gagah di depan. Kali ini saya ingin membahas bagaimana cara menikmati kesulitan. Kebetulan sekali sekarang ini kehidupan saya sedang dalam  keadaan sulit, entah akan ada lagi yang lebih sulit atau tidak. Saya sedang hidup dalam perantauan, menjalani perkuliahan di salah satu perguruan tinggi di Surabaya, katanya sih mencari ilmu dan pengalaman, katanya sih dijamin bakalan sukses di masa depan. Dijamin sukses ndasmu a? Tidak segampang itu bitch! Sudah tak terhitung berapa kali aku rela tidak makan selama beberapa hari untuk mengirit uang saku, tidak bisa tidur karena kelaparan, hutang sana-sini, dan sebenarnya bukan melulu soal finansial saja yang sering kukeluhkan. Banyak cuk! Banyak! Buanyak! Cuk!
Lalu bagaimana aku menghadapinya? Kuakui sesekali aku pernah terbujuk oleh petuah Maria Tegoeh-- motivator handal katanya-- bahwa hidup harus dijalani dengan hikmat tanpa mengeluh dan harus selalu bilang "Aku bisa!", "Aku dapat!", dan lain-lain. Dan nyatanya hidup tak melulu soal bagaimana kita bersyukur, tetapi juga bagaimana cara kita mengeluh. Mengeluh disini bukan berarti menuntut, melainkan bagaimana cara kita mengakui bahwa kodrat kita yang sebenar-benarnya adalah makhluk rapuh ciptaan Tuhan. Kita tidak harus mengaku sangat kuat di depan Tuhan kita bukan? Bukankah Tuhan mengutuk kepribadian yang seperti itu? Coba ingat kembali kisah tentang seorang Raja Fir'aun yang mengaku bahwa dirinya adalah Tuhan. Apakah Tuhan kemudian mencintainya dan memertahankan tahtanya lebih lama? Jawabannya adalah sangat benar-banar tidak pernah tidak! Tuhan dengan segala amarahnya segera membinasakan Fir'aun dalam sekejap melalui tongkat Musa. Maka dari itu, mengapa harus berkata bisa jika memang tidak bisa? Mengapa harus bermunafik dan beromong kosong jika kita masih diberi kesempatan untuk berkata jujur? Maka dari itu juga, ada kalanya kita mesti frustasi, menunjukkan kelemahan dan bersimpuh kepada Tuhan. Memang benar Tuhan tidak akan menguji hamba-Nya melebihi batas kemampuannya, namun tak menutup kemungkinan jika Tuhan akan menguji hamba-Nya tepat pada titik maksimal kemampuannya. Dan pada saat itulah rasa ingin menyerah akan cepat timbul. Tidaklah munafik, pasti kita akan banyak merengek minta diringankan beban yang menimpa kita. Jadi, jika harus merengek, kenapa tidak? Ahmad Dhani sepenuhnya benar soal lagunya, menangislah bila harus menangis, karena kita semua manusia. Manusia diciptakan juga untuk menangis, bukan hanya tertawa bahak. Juga untuk mengeluh, bukan hanya tegar. Juga untuk frustasi, bukan hanya berlaga layaknya tanpa beban. Manusia diciptakan untuk jujur dalam bertutur dan berperilaku, bukan untuk bermunafik. Sekarang mari tengok cara hidup mendiang dewa Grunge, Kurt Cobain, pentolan band agung Nirvana-- yang bahkan aku tak tahu-- sampai kapan ia akan berhenti dipuja dan dikenang oleh umat penggila musik cadas. Cara hidupnya yang disimbolkan dengan kebebasan dan kebrutalan ternyata hanya sebuah bentuk keluhan terhadap banyaknya hal-hal yang membuatnya frustasi. Bahkan ketenaran yang ia dapat pun juga membuatnya begitu frustasi. Baginya, hal duniawi sudah tidak lagi nikmat. Hingga akhirnya ia memilih menghukum dirinya sendiri karena merasa tidak mampu menghadapi semua hal yang membuatnya frustasi. Bagiku itulah insan sejati, kalau kacau ya kacau saja, tidak usah sok rapi. Kalau cengeng ya akui saja, tidak usah sok kuat tetaapi diam-diam menyeka air mata dalam kesepian. Kalau mau mengaduh ya mengaduh saja, tidak usah diam dalam kepalsuan. Kesimpulannya, Tuhan mencintai makhluknya karena mereka lemah dan patut untuk dikasihi, bukan karena mereka merasa sangat kuat dan dapat berdiri sendiri. Jadi, masih mau berlaga tegar?

Sabtu, 29 November 2014

Hujan 2


Deras mengubur jalanan
Daun ditekuk ranting ditekuk dahan
Berkaca pada genangan
Mengawang jauh akan kenangan

Surabaya, 2014

Hujan

Langkah para jejak seketika senyap
Bergilir dengan syair mengalir
Mengalir tanpa hilir

Para buyung meraih kepak yang tertunda
Ribuan sampan kertas mereka rebah sejenak
Melayang bebas tertimpa deras

Menjelajah setiap kecipak merdu
Mengibas sayap menyibak hiruk pikuk
Membanjiri setiap keriput dahan

Sedang sayapku masih entah
Kuawali pada secicip cangkir arabica
Kupu-kupu berwarna menyebar lewat kepulan

Mahatahu tahu kita lelah
Mahakuasa kuasa mengguyur letih
Mahamegah hujan beserta derasnya

Penjagal Rimba

Udara terasa anyir bergilir kala pagi itu. Terpampang jelas pada lidah-lidah yang membujur kaku. Angin yang mengitari desa seolah menggenggam berita yang tak lagi tabu, bersimbah merah semu. Memang sudah teramat biasa, saat kau bangunkan urat-urat membiru dari alas empuk tempat tidur yang hanya mengawang samar dan kian meredup saat kau tergugah dari mimpi, kemudian kau mendengar kabar tentang penjagalan, pemerkosaan dengan membunuh, pemerasan dengan membunuh, pergulatan, percintaan, dan semua motif kejahatan yang hanya akan berujung pada pembunuhan. Lalu apa yang telah terjadi tadi malam, atau dini hari tadi? Kau akan secara cepat kilat mengetahuinya dari cakap yang merambat ke cakap oleh bibir berurat milik ibu-ibu pedesaan. Penjagalan dengan perlawanan lagi.

Di sini tak ada ironi, semua dibasmi keji tanpa basa-basi seperti babi jika sekedip saja tak berhati-hati. Setidaknya kau dapat menambah dua atau tiga pasang mata di kepala untuk berjaga-jaga dengan cara menjarah mata korbanmu, atau sepasang matamu yang akan dijarah terlebih dahulu dan kaulah yang akan berperan menjadi korban. Di sini tak ada kuasa atau kebijakan hukum, alam dan rimba yang sepenuhnya berkuasa atas segalanya. Tak ada batasan moral dan perilaku, semuanya bak hewan saja: lepas telanjang tanpa aturan yang mengikat rapat, haus kekuasaan membuat sempurna nafsu akan keserakahan, kejam: saling mangsa bahkan sanak atau saudara seatap. Mati dengan atau tanpa panca indera; tergantung di pohon melur tanpa kaki dan alasnya yang menjulur; menjadi hidangan dini hari bagi para nokturnal mematikan, atau apa pun yang sekiranya dapat menjadi cara yang tragis dan tak logis untuk mati dapat kau temui di sini. Tak ada pilihan untuk mati secara manusiawi. Namun alam yang berkuasa membuat segalanya berjalan secara sejajar dan seimbang, jika ada yang basmi-membasmi, maka ada juga yang beranak-pinak. Maka tak akan ada habisnya hal semacam itu terjadi di sini.

Perkenalkan namaku Alam, aku adalah salah satu pemuda yang disegani di sini. Aku sudah menjagal setidaknya berpuluh-puluh orang kemudian merampas harta mereka untuk hidup berhari-hari. Cobalah melawan, maka akan kubunuh tanpa segan. Aku ingat kala pertama kali aku menjagal. Malam tanpa bulan dan pekat menyelimuti permukaan hutan ranting dan dahan tampak menyeringai menampilkan keperkasaan alam. Aku sembunyi dibalik belukar tajam tak kupedulikan bagaimana ia menggores-gores bagian punggung yang sedang tanpa balut pakaian. Aku sedang mengintai mangsa pertamaku saat itu tak kupedulikan bagaimana ganasnya peristiwa kemarin tentang tetangga yang setengah bagian tubuhnya habis disantap binatantg buas tepat di sini karena aku sangat yakin akulah yang terganas dan mereka tak ada apa-apanya dibandingkan denganku. Instingku lebih tajam tidak seperti otak tolol mereka yang tidak acuh akan strategi perburuan. Memang harus begini kata kakekku. Kau harus merasa terganas melebihi apapun di sekelilingmu atau mereka akan menghabisimu terlebih dahulu sebelum dirimu. Alam menyukai dan tentu akan sangat mendukung mereka yang terbuas dan paling beringas. Maka tanpa sedikit pun ada keinginan untuk kembali pulang dengan tangan kosong, aku menggertak diriku supaya naluri kebinatanganku yang buas tergugah dan meraung; mengaum sekencang mengkin. Ia mulai datang.

Lelaki tua paruh baya mengenakan kemeja berjalan pelan menatap samudera langit yang sedang kosong seperti mengharapkan sinar rembulan-- yang bisa ia gunakan untuk berlindung dariku dan mataku tertuju tepat di kilau keemasan yang remang samar tampak pada pergelangan tangan dan leher si mangsa. Sejenak aku membayangkan bisa meraihnya dan membawanya pulang kemudian kakek akan menceritakan dongeng penjagal zaman silam-- yang sangat aku idolakan-- sebagai hadiah. Aku melemaskan otot-otot perkasa yang kumiliki sebelum menyeringai tajam dan menertawakan dalam hati betapa bodohnya si mangsa yang sebentar lagi akan kujarah karena berani-beraninya sendiri mengitari hutan tanpa ada pengawalan juga tanpa dua atau tiga pasang mata tambahan di kepala untuk berjaga-jaga. Ia saat ini di depanku, membuat mataku berbinar membayangkan malam ini segala hal akan berjalan mudah dan sesuai harapan kemudian akan segera berlalu. Aku mencegah laju lelaki tua tersebut dengan berbekal golok di tangan dan mengaum dengan bingarnya mencoba membuat kakek tadi merasa terpojokkan kemudian ia tak akan bisa lagi berpikir panjang-panjang meratapi betapa ganasnya aku kemudian berlutut menyerahkan semua yang kuinginkan dengan segera. Pada dasarnya aku tak pernah membayangkan tentang pembunuhan karena saat itu nuraniku masih berfungsi dengan baik. Ia mengeluarkan pisau dan mengancamku untuk segera menjauh. 

Aku sudah mengatakan segala hal, aku tidak ingin membunuh, aku hanya ingin ia menyerahkan segala yang ia punya dan dongeng tentang sosok penjagal akan diupahkan kepadaku jika aku berhasil membawa buah tangan saat pulang. Ia mencoba menyerangku namun kebuasanku-- sedang dalam puncaknya dan tak akan ada yang bisa menandingiku saat ini bahkan sosok idola yang katanya pernah menjagal seribu lebih mangsanya tanpa sekali pun gagal-- memanduku dengan sigap menghindar dari serangan cuma-cuma yang akhirnya membunuh sebagian nurani dan kakek tadi. Tanpa ironi, ia kubasmi keji tanpa basa-basi seperti babi karena sekedip tak berhati-hati. Ini pertama kalinya aku melenyapkan nyawa seseorang. Lehernya menganga bekas sabetan golok yang sedari pagi telah kuasah hingga begitu tajam. Aku gagal mendapatkannya tanpa harus membunuh. Aku akui aku gagal pada pertama kali aku menjagal. Malam ke-dua.

Kembali lelaki tua paruh baya mengenakan kemeja berjalan pelan menatap samudera langit yang sedang kosong seperti mengharapkan sinar rembulan-- yang bisa ia gunakan untuk berlindung dariku dan bayanganku tertuju tepat pada  bongkahan-bongkahan besar pasti terdapat pada gerobak yang ia bawa bersama tiga kawannya. Memang ia tak sendiri namun apalah yang bisa menandingi kebuasanku malam ini. Sejenak aku membayangkan bisa meraihnya dan membawanya pulang kemudian kakek akan menceritakan dongeng penjagal zaman silam-- yang sangat aku idolakan-- sebagai hadiah yang belum tuntas diceritakan kakek pada malam pertama karena menurutnya apa yang telah kudapatkan tak sebanding untuk membayar tuntas dongeng yang kuidamkan. Aku melemaskan otot-otot perkasa yang kumiliki sebelum menyeringai tajam dan menertawakan kebodohan yang mereka anggap apa yang sedang mereka lakukan sudah cukup untuk menghadang buasnya aku dengan memiliki empat pasang mata untuk mengitari hutan. Saat ini nuraniku mulai tidak berfungsi dengan baik. Aku tak peduli lagi jika nantinya akan berakhir sama seperti malam pertamaku kemarin. Aku mencegah laju lelaki tua tersebut dengan berbekal golok di tangan dan mengaum dengan bingarnya mencoba membuat kakek-kakek tadi merasa terpojokkan kemudian mereka tak akan bisa lagi berpikir panjang-panjang meratapi betapa ganasnya aku kemudian berlutut menyerahkan semua yang kuinginkan dengan segera. Mereka mengeluarkan pisau dan mengancamku untuk segera menjauh.

Aku sudah mengatakan segala hal, kali ini aku tidak peduli jika harus membunuh, aku ingin mereka menyerahkan segala yang mereka punya dan dongeng tentang sosok penjagal-- yang belum kuketahui akhir ceritanya-- akan diupahkan kepadaku jika aku berhasil membawa buah tangan saat pulang. Mereka mencoba menyerangku secara bersamaan namun kebuasanku-- sedang dalam puncaknya dan tak akan ada yang bisa menandingiku saat ini bahkan sosok idola yang katanya pernah menjagal seribu lebih mangsanya tanpa sekali pun gagal-- memanduku dengan sigap menghindar dari serangan cuma-cuma yang akhirnya membunuh sisa-sisa nurani dan para kakek tadi. Lagi-lagi tanpa ironi, ia kubasmi keji tanpa basa-basi seperti babi karena sekedip tak berhati-hati. Leher mereka menganga lebar bekas sabetan golok yang sedari pagi telah kuasah hingga begitu tajam. Malam ke-tujuhpuluhsatu.

Namaku Alam. Tak peduli siapa pun yang akan kumangsa apakah paruh baya atau pun masih gagah perkasa yang lewat. Tak peduli berapa saja yang mengitari tempatku mengintai mangsa. Semuanya adalah mangsa bagiku. Aku akan menjagal apa saja-- bahkan jika harus aku akan memerkosa dengan membunuh, memeras dengan membunuh, bergulat, bercinta, dan semua motif kejahatan yang hanya akan berujung pada pembunuhan akan aku lakukan dengan buas hati-- kemudian membawa hasil jarahanku pulang untuk segera mengetahui akhir dari dongeng tentang penjagal zaman silam-- yang sangat aku idolakan-- sebagai hadiah yang belum tuntas diceritakan kakek pada malam-malam sebelumnya karena menurutnya apa yang telah kudapatkan belum sama sekali sebanding untuk membayar tuntas dongeng yang kuidamkan. Malam ke-tujuhpuluhdua.

Udara terasa anyir bergilir kala pagi itu. Terpampang jelas pada leher-leher yang segar menganga. Angin yang mengitari desa seolah menggenggam berita yang tak lagi tabu, bersimbah merah semu. Memang sudah teramat biasa, saat kau bangunkan urat-urat membiru dari alas empuk tempat tidur yang hanya mengawang samar dan kian meredup saat kau tergugah dari mimpi, kemudian kau mendengar kabar tentang penjagalan, pemerkosaan dengan membunuh, pemerasan dengan membunuh, pergulatan, percintaan, dan semua motif kejahatan yang hanya akan berujung pada pembunuhan. Lalu apa yang telah terjadi tadi malam, atau dini hari tadi? Kau akan secara cepat kilat mengetahuinya dari cakap yang merambat ke cakap oleh bibir berurat milik ibu-ibu pedesaan. Penjagalan dengan perlawanan lagi. Aku lagi.


*Fiksi

Jumat, 21 November 2014

Kantuk

Sememikat ini kau pagi
Sesuatu di balik jendela berbingkai
Peluk kucumbu cahaya menguningpadi

Adakah kutulis janji
Menyimpan nafas pagi dalam laci
Lagi kemudian esok pagi

Walau punggung mentari
Tak terjamah melalui jemari
Biarlah pagi tetap menggoda

O aku mulai mengingatnya
Ia kugeletakkan kemana
Di sanakah di sana?

Kuteliti cecer kotoran burung pada serambi
Malah sisa kelu cinta semalam tersaji
Selembar permadani

Sayang, jawablah
Di mana mata dengan menggurat merah?
Apakah di bibir kembang merekah?

Biar kupelihara bisu
Beri saja aku bibir manismu
Biar Tuhan yang Mahatahu

Kamis, 20 November 2014

Ocehan Angka


"Jangan beritahu aku ada disini..." Kau tahu aku sedang bersembunyi atau tepatnya berusaha menyembunyikan diri, mereka yang gila berjubah keemasan sedang mencariku, menjadikanku sebuah arti surgawi yang ujungnya aku menjadi tujuan hidup. Kau tahu aku sedang berlari, mereka yang bermahkota sedang mengejarku, menjadikanku sebagai sosok yang dapat membuat rasa lelah mengembara setelah beribu keringat dan dosa gugur saat melakoni sebuah pengembaraan besar-besaran yang berisi cerita peperangan ataupun dongeng ironi seperti tentang tumpah berjuta darah juga perasingan bagi yang kalah, yaitu perburuan tentangku. Benar saja jika segala cara mereka anggap tak akan menuai siksa dari yang Mahaasih atau mungkin mereka tahu apa sesungguhnya arti itu sebuah dosa namun enggan meyakininya dengan benar yakin. 

"Jangan beritahu aku ada disini..." Kau tahu ku tak sanggup lagi berlari, terbang dan berenang seperti figur dewa yang sering dibualkan keberadaannya melalui layar kaca atau mungkin juga melalui kertas sutera bergambar seperti aku. Kau tahu ku telah lelah diombang-ambing kesana-kesini kemudian kembali lagi tercabik-cabik bagai bulu merpati terjarah badai yang sedari dulu terlipat rapat-rapat dalam pergantian zaman ke zaman juga  musim ke musim. "Pukul aku sekencang mungkin saat mereka mulai menebar hawa nafsu di setiap penjuru cakrawala-- meluas dan merambat hingga ke sudut kosong pun semesta lari darinya-- hitam meranggas ke dinding-dinding memenuhi ruangan semesta kemudian menyesakkan lapisan kulit aorta dan menjadikannya penyakit berwabah berbahaya yang waktu penularannya hanya sekian kedip mata saja-- maka

Bunuh saja aku ketika mereka mulai mendekat..." Kau tahu ku tak sejernih penglihatanku di waktu aku baru dihadirkan ke dunia melalui mesin percetakan dahulu dan ya, itu sudah sangat dahulu. Lihatlah penglihatanku tak setajam pedangku saat mereka masih duduk di bangku sekolah dasar dan menjadikanku jalan jembatan untuk penggayuh mimpi suci mereka kala itu memang begitu sucilah mereka benar-benar penuh imaji yang saat ini telah mereka lupakan dan kubur dalam-dalam selubuk lautan. Dahulu mereka memiliki sayap kecil di dua sisi punggungnya yaitu haq dan batil membuatku berharap banyak saat kelak mereka tumbuh dewasa dengan meraih pucuk kemenangan dengan menumpas kebatilan yang membenalu di balik punggung sebelah kiri mereka atau malah akan lebih membuatku bahagia lagi jika keduanya akan mekar bersamaan hingga bayangan mereka menaungi lautan dan terbang menggapai angan-angan berjalan seimbang tanpa sedikit pun pincang karena ku yakin sang Khaliq tak mungkin menciptakan kebatilan tanpa sebuah tujuan. Pedangku maupun penglihatanku tak lagi bernilai kini.

Kau tahu mereka yang sekarang lebih menyukai aroma anyir yang mencekik selaput hidung mancung meski berbulu lebat sekalipun. Mereka lebih suka melihat seember darah tumpah dari tubuhku yang berwarna merah bersinar di mata rimbun hijau daun pisang mereka. Mereka tak menghendaki tubuh sekawanku yang ringkih untuk bersanding bersamaku yang mereka paksa untuk selalu perkasa selayaknya raksasa iblis bertubuh merah merata bergambar nominal angka sebanyak-banyaknya. Akulah angka, lihatlah merah yang mereka ciptakan sendiri demi mendapatkanku yang lebih merah dan terlebih-lebih merah lagi hingga semuanya merah dan hanya ada merah. Aku iri melihat kawan-kawanku di sana, dihargai meski berwarna putih mengkilap logam atau hijau rimbun samudera. Namun mereka yang di sana ada di kalangan yang berbeda sejak kasta itu ada. Mustahil aku bisa mereka dapat meski berjuang mereka hingga tulang melunak dan pikiran kerontang terperas habis melalui keringat. Kau tahu ada dinding besi kokoh di antara kami. Kami tak dapat lagi serupa pelangi di penghujung badai atau setandan mendung di derasnya terik matahari.

Entah sampai kapan aku harus bersembunyi sampai kapan merintih dalam doa dan dzikir agar semua orang bisa menikmatiku dan tak lagi menjadikanku alasan untuk sebuah pergulatan antar kasta. Akulah angka yang mereka cari hingga kini dan entah sampai kapan. Aku tak bisa memohon kepada-Nya untuk mencabut nyawaku karena aku memang sudah  lama mati dan hanya diperumpamakan hidup saja oleh pemikiran gila mereka tentangku. Aku ingin lenyap bersamaku yang lain.

"Kawan, lenyaplah bersamaku..."

Peperangan

Bebatuan bata saling tumpang
Tiada jendela berbingkai menyela tengah badan
Hanya kaku potret kehidupan tanpa balut selimut
Telanjang

Cinta maupun amarah tersuratkan
Remang si neon meringkih di pundak
Bebatuan bata menyeka buih asin
Bulir kecut setiap punggung yang bersandar
Menopang rekaman jejak tapak bertaburan
Terisak

Tinggal rindu mencabik kulit jantung
Banyak kata tersirat
"Dulu aku menebar hangat pada tuan dan nini. 
Menjalar hingga meradang patah kini. 
Saling dendam, jadikanku tak berarti lagi."

Memeriuk api itu kian menjadi pundi kelam
Tinggal rindu mencabik kulit jantung

Sekarat sudah
Tinggal jerit sepatah
"Hentikanlah!"



Rabu, 19 November 2014

Takdir Rembulan

Hawa rembulan memang memikat kala angin bersiur
Cahayanya gugur menerpa dedaunan melur
Berdesing-desing seperti badai yang mengguyur lebur
Tak seperti matahari yang pendarnya berangsur

Kiat-kiat para takabur yang pandai bertabir
Dan kufur yang menyelilit di sela-sela bibir
Menjerit kepada takdir yang mengalir:
"Aku sedang sekarat di tubir!"

Semula takdir tetap diam menggelontor
Cintanya hinggap pada pucuk awan bersama sekawan kondor
Menjawab teka-teki yang membising sembari berselonjor:
"Sayang, rembulan tak selebar daun kelor."


Surabaya, 19 November 2014

Sabtu, 08 November 2014

Just "Mezmerize" for this Fucking Days!


Kembali hati terbakar saat mengingat kekasih pernah manis manja dengan lelaki lain. Kembali gundah saat mengingat uang sewa kos harus segera kubayar. Kembali tangis haru saat mengingat suara ibu di ujung telepon, terlebih ketika beliau berucap, "Kuliah sing tenanan le, bayare larang. Ojo boros. Ojo lali sembahyang. Sing pinter yo le." Kuliah yang benar ya nak, bayarnya mahal. Jangan boros. Jangan lupa ibadah. Jadi anak yang pintar ya nak-- Duh bu, maafkan anakmu, semua arahan dan nasehatmu belum sama sekali bisa aku perbuat. Apalagi mengingat kelakuanku yang akhir-akhir ini bisa dikata amburadul. Berantakan. Sering bolos kuliah; boros di saat kebutuhan meledak; jarang beribadah; sering foya dan lain-lain. Maafkan anakmu bu, segala hal di hari-hari belakangan ini memang sangat menyulitkan. Seolah semuanya berjalan tanpa ada harapan. Aku kesulitan; kelabakan. Namun tak sebenarnya seperti itu. Ada hal yang perlu kuceritakan. Bukan tentang acara sinetron Indonesia yang semakin hari semakin hilang asal-usulnya. Tidak jelas. Ini tentang hiburan yang menurut saya benar-benar menghibur. Lewat lagu dari pemusik favorit. Meski dalam kesulitan, tetap kucoba ucap persetan dan membuang jauh kepenatan dengan sekadar mendengarkan bahkan ikut melafalkan. Secara suka-suka, seenak jidat. Tolong hapus ingatan kalian tentang intermezzo tidak penting di atas. Mari perhatikan hal-hal menyenangkan yang biasa disebut kebiasaan. Memang benar akhir-akhir ini hari-hari terasa sulit dijalani, tak segampang ocehan motivator penuh pencitraan, tetapi selalu ada solusi yang entah darimana datangnya. Menurutku itu akan datang saat kau benar-benar dalam keadaan buntu, putus asa, pasrah dan kau memilih untuk berhenti berpikir kembali tentang masalah yang sedang kau hadapi. Kemudian saat solusi itu datang secara tiba-tiba kau akan mengolok diri sendiri dengan kalimat: "Mengapa daritadi tidak begini atau begitu saja?", "Mengapa baru terpikirkan?" dan sebagainya. Hm, lagi-lagi bahasan yang tidak penting. Ngomong-ngomong soal solusi, ia akan datang saat kau berpikir santai, saat pikiranmu lepas tanpa paksaan untuk berpikir. Kembali ke topik kebiasaan. Kebiasaan yang menyenangkan akan membuat pikiran nyaman, santai bak sedang di pantai. Lalu apa kebiasaanku yang sekiranya dapat membuat pikiranku kembali santai dan yang kemudian dapat menghadirkan solusi saat ku dikepung masalah?-- Kalau hari-hari belakangan ini sih hanya kegaduhan yang dibuat oleh System of a Down. Grup band yang mengidentitaskan diri sebagai band bertajuk alternative metal itu memang gaduh dan riuh. Saya ingatkan, lagu-lagu dari mereka tidak ada yang enak didengar. Mereka selalu liar dan terkesan tanpa ampun saat membawakan lagu. Suara yang mistis dari front-man Serj Tankian dan tambahan vokal dari sang gitaris Daron Malakian yang membuat lagu mereka terdengar meriah. Tambah ngeri ketika sang bassis Shavo Odadjian menjadi backing vokal dengan nada suara yang tinggi. kemudian tabuhan drum yang menggebu oleh John Dolmayan membuat lengkap suasana mirip seperti penghancuran. Karena lirik-lirik mereka yang kental dengan ide, pandangan-pandangan tentang masalah-masalah sosial-politik, band keras ini pernah diartikelkan Kompas sebagai band anti kekerasan. Album mereka yang saat ini sedang kugilai adalah Mezmerize (2005). Album nomor urut dua dari belakang setelah Hypnotize (2005) ini pernah mendapat gelar Grammy Award pada tahun 2006 untuk penampilan hard rock terbaik. Lagu-lagu di dalamnya pun menurutku sangat menarik. Seperti Violent Pornography yang isinya mengarah pada perlawanan terhadap televisi. Terutama dalam hal korporasi besar atau komersialisme. Mungkin juga bentuk pemberontakan terhadap hal-hal mengenai kekerasan seksual pada tayangan televisi. Pengertian itu bisa kau temukan pada lirik "It's the violent pornography. The kind of shit you get on your TV" pada lagu ini. Melihat ironisnya tayangan televisi di Indonesia, andai saja di Indonesia ada grup band yang lagunya berisi tentang kritikan terhadap tayangan televisi, tentu akan sangat menarik dan menyeret penghargaan dari publiik. Kemudian lagu penggugah kekacauan yang lain yaitu B.Y.O.B (Bring Your Own Bombs). Lagu yang sudah dapat dikata sangat mainstream bagi kalangan pecinta musik rock. Juga lagu penenang yaitu Lost in Hollywood. Mengapa lagu penenang? Ya karena lagu ini yang menurutku paling tenang dan memang menenangkan setelah mendengar deretan lagu yang menegangkan. Lost in Hollywood dapat menjadi refleksi yang dingin setelah imajinasi terkoyak panas oleh lagu-lagu keras di album Mezmerize lainnya. Mezmerize memang tiada duanya, setidaknya untuk saat ini. Dan well, pada kenyataannya aku masih bisa menghadapi bahkan melewati masalah apapun meski terasa berat dan terasa penuh keputus asaan. Karena solusi siap didapat saat pikiran tenang, dan pikiran tenang siap didapat saat mendengar Mezmerize. Yeah!!!

Rabu, 05 November 2014

Daun 2

Tulang punggung bagi para partikel lainnya
Kutukan yang tak dapat kusangkal
Maka lebih terkutuklah aku
Jika aku hanya berbaring pada penyerahan

Tak peduli kau yang manis
Aku terguyur debu dan arang
Tersabit angin malam; tertusuk terik
Tak peduli apapun kau ganggu

Aku harus selalu terjaga, setiap detik
Hap-hap! Kusergap satu persatu butiran cahaya yang lewat
Kuolah, kemudian kupersembahkan
Agar ia dan kami tetap hidup


*Lanjutan puisi berjudul Daun

Kamis, 23 Oktober 2014

Semester Tiga

Semester tiga ini, kuliah tidak berjalan sebagaimana lumrahnya. Aku, semakin tidak karuan saja. Brutal, kacau, porak-poranda. Jarang mimpi basah, sering bertikai dengan kekasih, sering pesta miras, judi sampai pagi, begadang walau ada kuliah pagi, berakhir dengan bangun siang, kemudian berujung dengan membolos kuliah. Seperti malam (bedebah) ini, waktu ada janji nobar liga champion dengan teman sekelas dan teman-temannya teman sekelas. Tak tahu darimana pikiran kotor itu berawal dan berasal, akhirnya kami putuskan untuk patungan, beli miras. Air yang diyakini dapat memberi kedamaian duniawi, dapat digunakan sebagai alibi melupakan masalah duniawi, juga dapat digunakan sebagai penghilang rasa sakit pada gigi berlubang dan gusi bengkak.

Anjing! Aku benar-benar tak bisa menolak rogoh kocek ketika mereka menarikku uang patungan, terlebih ketika mendengar alasan yang terakhir tersebut. Gigiku sedang nut-nutan cuk! Aku ndak bisa berpikir jernih dan berpikir panjang-panjang, tolong jangan ajak bercanda ketika gigiku kumat, mendengar lalat terbang saja rasanya ingin bunuh orang. Serius! Sakit gigi bukan hal yang remeh temeh, tak ada hal yang menghibur, dibuat bergerak sakitnya minta ampun, apalagi diam, lebih minta ampun. Sendiri ataupun ada teman, berdiri ataupun berbaring, tak ada yang manjur. Hanya bisa menggeliat seperti cacing panggang, berjalan mondar-mandir sambil memegangi pipi dan bilang jancuk! Cuk! Mari o cuk!, ada keinginan untuk lompat salto, pukul muka orang, cekik leher mantannya pacar, tendang tembok, bahkan menyilet tangan sendiri. Semuanya amburadul, kapal pecah, pesawat tempur meledak, kampus kebakaran, tabrakan beruntun, bahkan sinetron Indonesia, semua kekacauan menjadi satu dan sontak menyeruak di dalam kepala. Bahkan lebih kacau dari sekadar semua itu. Antartika meleleh, Amazon banjir, Berlin ambruk, atau apalah. Pokoknya sakit gigi itu jancuk, ngerti o!

Masih banyak lagi kebedebahan di semester tiga. Urusan percintaan misalnya, tentu pertikaian yang terjadi dalam hubungan adalah hal lazim, tetapi sekarang ini beda seperti sebelumnya, bahkan hanya gara-gara hal sepele kita bisa menghabiskan waktu berminggu-minggu untuk saling bermaaf-maafan. Mungkin dimulai sejak orang tua kekasihku pindah ke luar pulau, dan kami harus berjuang sekuat tenaga agar kekasihku tak ikut pindah kesana. Semuanya tampak lebih berat. Melihat kejanggalan di raut wajahnya, tentu bukan hal yang menyenangkan.

Aku tahu ia sangat berat merelakan dirinya tetap disini bersamaku, tetapi aku juga lebih merasa keberatan jika harus merelakan dirinya meninggalkanku. Soal itu, aku tak yakin hubungan kami bisa bertahan jika ia benar-benar harus pindah atau, mungkin akan tetap bertahan walau jarak membentang namun tentu masing-masing dari kita akan sangat mati-matian bertahan menahan kerinduan nantinya. Persetan dengan omongan orang bijak, cinta itu butuh pertemuan cuk! Aku tidak akan melepaskannya begitu saja. Jadi, tenang yo sayang, aku berjanji akan membuatmu bahagia. Hingga kapanpun dan bagaimanapun keadaannya. Maka pak, buk, aku minta doa restu kalian untuk menjaga anak bapak dan ibu disini. Izinkan kami menjalani apapun berdua hingga kapanpun. Kumohon. Aku berjanji tidak akan mengecawakan kalian. Atas izinnya, saya ucapkan terimakasih banyak. :)
O ya, lebih miris lagi urusan keuangan. Aku harus rela membuang jauh rasa malu dan mengharap rasa iba dari teman sekelas agar dipinjami berapa ratus ribu untuk hidup seminggu. Bagaimana tidak? Jatah sanguku sudah habis seminggu lebih awal. Semester tiga ini aku memang lebih boros dari semester sebelumnya. Lebih banyak kebutuhan tepatnya, padahal sudah coba mengirit dengan tidak membeli buku perkuliahan dalam bentuk apapun. Tetapi tetap saja, belum lagi harus segera bayar kosan, dinaikkan pula biaya kamarnya, katanya sih, alasan listrik yang naik gara-gara teman sekelas sering main game di laptop dan menurutku itulah alasan terbodoh yang pernah dicakap mulut bedebah para ibu kos.

Memang tiada yang lebih memuakkan daripada muka ibu kosan. Bisa jadi aku akan kelabakan bayar hutang ke temanku nantinya. Belum lagi ada mata kuliah yang mengharuskan untuk melakukan penelitian bahasa ke luar pulau di akhir bulan nanti, dan biayanya tidak murah pula, njing! Aku harus bagaimana? Mungkin jika tak ada kekasihku disini, maka aku sudah cuti satu semester untuk mencari pekerjaan dan menenangkan pikiran yang hampir bisa dikatakan tidak waras ini. Satu lagi, hutang pulsa ke teman sekelas perempuan juga sudah menumpuk! Pusing banget cuk! *Ndang cepet ta lah rek nek tuku ombenan. Gigiku wis kumat parah!!!-- Lhoalah.. Mene onok kuliah isuk. Bolos maneh wis. Fuck! O:)

Rabu, 22 Oktober 2014

Tuang - Tenggak

Seperti sakit yang kau tuang
Mengambang seperti sandal tanpa pasangan
Seketika kutenggak
Kutenggak!
Lubang pipi kerontang
Kisut keriput dehidrasi sela jemari
Mimpi menancap bulat beraksara nisan
Urat leher yang kemudian mencekik
Gundah membuncah kala sakit lagi kau tuang
Geram kugenggam
Dan kutenggak
Kutenggak!
Riak yang mengulum habis kesabaran
Dendam mengelabuhi palung rindu
Hitam menyelimuti rerumputan pada awan
Ketika kembali kau tuang
Lagi kutenggak
Kutenggak!
Butiran manis; botol nan halus; asap padat
Gigi bocor; akal sehat; iman berotot
Kutenggak!
Habislah sudah
Kureguk, dan kutenggak
Maka seberapapun kau tuang
Dengan senang hati kutenggak
Kutenggak!

Kamis, 16 Oktober 2014

Budak Sungai



Entah apa yang membuatku betah lama-lama menunggunya di pinggiran sungai seperti ini, mungkin lengkuk tubuhnya, derai rambut yang ia biarkan terurai hingga setengah badan. Oh, mungin juga dua belahan yang tak mungkin bisa diabaikan begitu saja oleh pandangan para pria desa sepertiku. Dada dan tulang ekor yang menggoda itu. Tak sabar ingin segera kulahab dengan mantabnya. Tak peduli binatang buas yang katanya dapat menelanku utuh tanpa ampun; penunggu sungai yang katanya sedang mencari budak baru; bapak-bapak penjaga pos ronda yang biasanya keliling desa untuk memastikan bahwa desa benar-benar aman. Aku mana peduli? Aku sudah ereksi sejam dua jam yang lalu. Membayangkan ia datang dan memelukku dari belakang dan payudaranya yang menggembul menggemaskan itu akan menghangatkan punggungku. Oh Yulia. Segeralah datang, abang sudah lama menunggumu.

Sudah setengah bungkus asap kretek kutelan. Bau minyak wangi oplosan di bajuku juga sudah mulai luntur. Aku mulai mengingat omongan warga yang menyebutkan bahwa penunggu sungai dekat tempatku singgah ini sedang mencari tumbal untuk dijadikan penggawa istananya. Namanya sungai Denai. Kata mereka, biasanya mereka langsung saja membawa korban, tetapi ada juga yang menyamar menjadi manusia terebih dahulu kemudian merayunya dengan sihir gaib dan sang korban akan hilang kesadaran begitu saja. Dan orang yang dijadikan samaran biasanya diambil sekalian rohnya. Di desaku memang sudah ada sekitar tujuh pria yang kabarnya digondol oleh sang penunggu. Sebagian percaya, tetapi para pemuda seperti aku malah girang akan berita tersebut. Karena dengan begitu, kita dengan leluasa dapat menggunakan tempat ini untuk berbuat hal-hal tidak senonoh. Seperti yang akan kulakukan saat ini. Oh, soal orang-orang yang hilang tadi, aku percaya bahwa binatang buaslah yang menelan mereka secara utuh-- Rokokku tinggal sebatang, ia belum datang juga. Sialan! Jangan-jangan ia menipuku. Mana mau dia bercinta denganku? Pemuda yang dikata pas-pasan, dompet amatir, bahkan pengalaman bercinta yang masih nol. Tidak tidak tidak! Ia pasti sempat lupa ada janji denganku disini, dan setelah ia mengingatnya, ia akan kebingungan untuk berdandan secantik mungkin, atau mungkin, ia masih membantu ibunya mengemas barang dagangan yang biasanya memang tutup jam delapan malam. Hey! Ini sudah jam sembilan malam! Sialan! Mungkin ia memang melupakan janji denganku dan kencan dengan anak kepala desa yang pasti juga menggilainya. Setelah kupikir-pikir, sebaiknya aku segera pulang, melampiaskan nafsuku dengan onani di kamar mandi. Aku mana tahu jika ada sekumpulan binatang buas yang kelaparan sedang asyik mengintai mangsanya. Aku. Ah tidak! Kenapa tidak kuhabiskan dulu saja rokokku, lagi pula pemandangan di sekitar sini cukup melegakan. Mungkin juga para binatang buas sedang menghabiskan sisa-sisa tulang mangsanya hasil perburuan kemarin, sehingga malam ini mereka cukup menghabiskan waktu untuk bermalas-malasan di sarang sambil mengelus perut saja.

Kutengok arloji klasikku, sudah setengah sepuluh malam. Rokok amblas, badan apek, mata ngantuk dan dingin malam ini munkin cukup untuk dapat mendinginkan air mendidih hanya dalam hitungan menit saja. Sudah cukup, Yulia. Aku pulang. Aku beranjak dari tempat terkutuk itu. Berjalan sambil bersiul mengusir penat-- Siapa itu? Tubuhnya seperti Yulia, bahkan lebih aduhai. Wajahnya samar-samar memang mirip sekali dengannya, bahkan lebih menggoda. Beginikah ia saat rembulan pada tanggal limabelas menyoroti wajahnya lewat celah-celah dedaunan yang bergoyang terhembus angin malam? Aku meladeni rasa penasaranku dengan menghampirinya pelan-pelan. Ia menatapku, bibirnya senyum membuat pipi lembabnya terangkat. Semakin dekat, sudah sangat dekat.

"Kenapa tadi tidak langsung ke pinggiran saja?" Sapaku
"Aku hanya ingin melihat seberapa besar kesabaran abang saja, ternyata abang memang telaten ya? Hehe" Jawabnya dengan suara lirih nan menggoda

Tanpa basa-basi aku langsung menggandeng tangannya kemudian kembali ke tempatku menunggu lama tadi. Pinggiran sungai. Setelah sampai kurebahkan ia di hadapanku. Aku memandanginya sejenak, memang butuh waktu untuk mempercayai semua ini.

"Tunggu apa lagi bang?" Rayunya

Kulumat semua bagian tubuhnya, aku buas, bahkan lebih buas dari binatang yang paling buas. Tak peduli dingin, kotor, bau amis, tak peduli apapun. Ini adalah kali pertamanya aku dapat merealisasikan imajinasi-imajinasi yang sering kupakai saat onani. Benar-benar megah. Tak dapat kubayangkan semua ini akan berakhir.

***

Sudah esok hari, aku bangun dari tempat yang bahkan tak kukenali. Aku kebingungan, ling-lung, tak tahu siapa-siapa dan tak tahu apa-apa. Setelah tengak-tengok kesana-kemari, aku putuskan saja untuk pulang ke rumah. Untung saja jalanan yang sedang kulalui tampak tak terlalu asing. Aku lega, tampak warung kopi di depan. Adalah warung kopi langgananku. Ah, mampir dulu saja, mumpung masih begitu pagi, karena akan sangat nyaman sekali bila ngopi dengan suasana sejuk dan sepi seperti pagi ini. Aku duduk kemudian membaca koran yang mungkin baru saja dilempar oleh kurir. Aku memang selalu membaca koran terlebih dahulu sebelum memesan kopi hitam kesukaanku. Aku sama sekali tak merasakan ada yang aneh di sekitarku, walaupun pak Dadang pemilik warung terlihat diam saja, tidak seperti biasanya. Mungkin masih terlalu pagi, beliau mungkin masih merasa ngantuk yang luar biasa. Atau mungkin, beliau masih ingin bercumbu dengan istri barunya. Ha-ha-ha-- Aku melanjutkan aktivitasku membaca koran saja tanpa mempedulikan diamnya pak Dadang. Kubaca berita tentang olahraga, itu-itu saja. Kemudian politik, sama sekali tak ada yang menarik dan terakhir, kubuka halaman tentang kasus-kasus tentang kejahatan maupun kejadian-kajadian yang bisa menyebabkan orang mati mengenaskan. Mataku terbelalak; jantungku meledak-ledak; pikiran tersentak-sentak. Berita itu memuat tentang korban penunggu sungai Denai, tempat mesumku dengan Yulia malam itu. Juga mayat gadis yang ditemukan mengambang di hilir sungai. Tak lain lagi gadis itu adalah Yulia. Aku menangis, tak tahu harus berbuat apa, aku benar-benar tak percaya Yulia mati dengan cara mengenaskan seperti itu. Aku tak percaya bahwa aku sudah tidak bisa menikmati molek tubuhnya lagi.  Oh tidak! Gadis malam itu bukanlah Yulia yang asli. Dan yang masih tak dapat kupercaya hingga sekarang ini, aku sudah resmi menjadi budak di istana penunggu sungai Denai.

Jumat, 26 September 2014

Daun

Kau terpenjara oleh ranting;
Kakimu teikat
Rupa-rupanya kau tak bisa berontak
Haram jua dalam berkalimat
Hanya menggosok tubuhmu dengan-mu yang lain
Meronta dan menggeliat di tempat agar kau cepat gugur
Namun seseuatu berbicara lain
Membuat pelepah itu lupa siapa dirinya
Sedang parasmu masih belia
Kau berharap segerombolan predator memakanmu
Agar kau bisa mati dan melupakan semuanya
Tanpa melawan takdir yang menancap samar dalam tanah


Sabtu, 20 September 2014

Kopi Pagi

Mana peduli buku pelajaran pagi, coba saja untuk beralih pergi; gali hasrat duniawi, lupakan otak keladi, ia bukan sejatinya inspirasi, bukan pula soal imajinasi, buang gundah akan begitu banyak caci, temui dirimu sendiri, kemudian basahi mata dengan syair-syair kopi.


Surabaya, 21 September
Dan akhirnya aku lebih memilih ngopi di kantin daripada mengikuti kuliah pagi

Kamis, 18 September 2014

Siklus Sajak-sajak

Tatapannya hinggap teduh
Bahkan ketika berawang-awang
Berkisar jutaan sajak gemulai
Kepayang dibuai sepoi
Beriringan tawa bawa cinta
Menyebar ke seluruh alam
Melahap setiap sudut kosong semesta
Para sajak menyisir samudera belai awan-awan
Memetik ranum buah mendung
Sementara waktu mereka saling melepaskan
Kemudian hempaskan tubuhnya hingga deras
Tiada yang luput, cinta maupun dosa terbasahi
Kembali sajak-sajak menjadi para sajak
Menyatu kembali dalam aliran
Berhanyut hingga arus itu berakhir
Dan berdenyut hingga siklus itu berhenti

Penggali Kubur

Tuan, lelaki tua bermahkotakan senja yang kian luntur
Hilir keringat mengalir di tengah kubur
Mengais mimpi; terus mengais hinga lebur
Tak mungkin cahaya itu gugur
Tak mungkin secepat itu harapan hancur

Tetapi tuan, kau tampak lelah
Matamu berdarah-darah
Lidahmu bernanah-nanah
Lehermu geliat daki dan goresan tanah
Tulang yang hampir patah
Tuan, segeralah

Oh tuan, mereka mulai mendekat!
Menyingkirlah cepat! 
Tertawalah sejenak, tengok mereka yang sedang bermunajat
Beberapa waktu kemudian, kembalilah erat
Raih cangkulmu dan singkirkan itu mayat
Oh jangan lupa tuan, hadapkan ia ke barat

Senin, 11 Agustus 2014

Tamat Riwayat

Kala sejuk itu selalu kuingat
Rumput abu-abu berombak padat
Disana membentuk lingkaran kurang bulat, kita duduk berempat
Berceloteh omong kosong coba usir penat
Kita selalu percaya bahwa esensi alkohol dapat menyekat
Maka bir pun melekat
Tak peduli pekat maupun dihujat
Kita sama-sama tahu; kita sedang tak dapat dihambat
Kala itu kita tengah asyik penuh hikmat
Terkekeh saja kita dengan saling melihat
Pikir kita muda, sedangkan mereka sudah berkarat
Hingga salah satu dari kita sekarat
Hingga ia dan riwayat itu tamat
Benar, benar-benar tamat