Kamis, 23 Oktober 2014

Semester Tiga

Semester tiga ini, kuliah tidak berjalan sebagaimana lumrahnya. Aku, semakin tidak karuan saja. Brutal, kacau, porak-poranda. Jarang mimpi basah, sering bertikai dengan kekasih, sering pesta miras, judi sampai pagi, begadang walau ada kuliah pagi, berakhir dengan bangun siang, kemudian berujung dengan membolos kuliah. Seperti malam (bedebah) ini, waktu ada janji nobar liga champion dengan teman sekelas dan teman-temannya teman sekelas. Tak tahu darimana pikiran kotor itu berawal dan berasal, akhirnya kami putuskan untuk patungan, beli miras. Air yang diyakini dapat memberi kedamaian duniawi, dapat digunakan sebagai alibi melupakan masalah duniawi, juga dapat digunakan sebagai penghilang rasa sakit pada gigi berlubang dan gusi bengkak.

Anjing! Aku benar-benar tak bisa menolak rogoh kocek ketika mereka menarikku uang patungan, terlebih ketika mendengar alasan yang terakhir tersebut. Gigiku sedang nut-nutan cuk! Aku ndak bisa berpikir jernih dan berpikir panjang-panjang, tolong jangan ajak bercanda ketika gigiku kumat, mendengar lalat terbang saja rasanya ingin bunuh orang. Serius! Sakit gigi bukan hal yang remeh temeh, tak ada hal yang menghibur, dibuat bergerak sakitnya minta ampun, apalagi diam, lebih minta ampun. Sendiri ataupun ada teman, berdiri ataupun berbaring, tak ada yang manjur. Hanya bisa menggeliat seperti cacing panggang, berjalan mondar-mandir sambil memegangi pipi dan bilang jancuk! Cuk! Mari o cuk!, ada keinginan untuk lompat salto, pukul muka orang, cekik leher mantannya pacar, tendang tembok, bahkan menyilet tangan sendiri. Semuanya amburadul, kapal pecah, pesawat tempur meledak, kampus kebakaran, tabrakan beruntun, bahkan sinetron Indonesia, semua kekacauan menjadi satu dan sontak menyeruak di dalam kepala. Bahkan lebih kacau dari sekadar semua itu. Antartika meleleh, Amazon banjir, Berlin ambruk, atau apalah. Pokoknya sakit gigi itu jancuk, ngerti o!

Masih banyak lagi kebedebahan di semester tiga. Urusan percintaan misalnya, tentu pertikaian yang terjadi dalam hubungan adalah hal lazim, tetapi sekarang ini beda seperti sebelumnya, bahkan hanya gara-gara hal sepele kita bisa menghabiskan waktu berminggu-minggu untuk saling bermaaf-maafan. Mungkin dimulai sejak orang tua kekasihku pindah ke luar pulau, dan kami harus berjuang sekuat tenaga agar kekasihku tak ikut pindah kesana. Semuanya tampak lebih berat. Melihat kejanggalan di raut wajahnya, tentu bukan hal yang menyenangkan.

Aku tahu ia sangat berat merelakan dirinya tetap disini bersamaku, tetapi aku juga lebih merasa keberatan jika harus merelakan dirinya meninggalkanku. Soal itu, aku tak yakin hubungan kami bisa bertahan jika ia benar-benar harus pindah atau, mungkin akan tetap bertahan walau jarak membentang namun tentu masing-masing dari kita akan sangat mati-matian bertahan menahan kerinduan nantinya. Persetan dengan omongan orang bijak, cinta itu butuh pertemuan cuk! Aku tidak akan melepaskannya begitu saja. Jadi, tenang yo sayang, aku berjanji akan membuatmu bahagia. Hingga kapanpun dan bagaimanapun keadaannya. Maka pak, buk, aku minta doa restu kalian untuk menjaga anak bapak dan ibu disini. Izinkan kami menjalani apapun berdua hingga kapanpun. Kumohon. Aku berjanji tidak akan mengecawakan kalian. Atas izinnya, saya ucapkan terimakasih banyak. :)
O ya, lebih miris lagi urusan keuangan. Aku harus rela membuang jauh rasa malu dan mengharap rasa iba dari teman sekelas agar dipinjami berapa ratus ribu untuk hidup seminggu. Bagaimana tidak? Jatah sanguku sudah habis seminggu lebih awal. Semester tiga ini aku memang lebih boros dari semester sebelumnya. Lebih banyak kebutuhan tepatnya, padahal sudah coba mengirit dengan tidak membeli buku perkuliahan dalam bentuk apapun. Tetapi tetap saja, belum lagi harus segera bayar kosan, dinaikkan pula biaya kamarnya, katanya sih, alasan listrik yang naik gara-gara teman sekelas sering main game di laptop dan menurutku itulah alasan terbodoh yang pernah dicakap mulut bedebah para ibu kos.

Memang tiada yang lebih memuakkan daripada muka ibu kosan. Bisa jadi aku akan kelabakan bayar hutang ke temanku nantinya. Belum lagi ada mata kuliah yang mengharuskan untuk melakukan penelitian bahasa ke luar pulau di akhir bulan nanti, dan biayanya tidak murah pula, njing! Aku harus bagaimana? Mungkin jika tak ada kekasihku disini, maka aku sudah cuti satu semester untuk mencari pekerjaan dan menenangkan pikiran yang hampir bisa dikatakan tidak waras ini. Satu lagi, hutang pulsa ke teman sekelas perempuan juga sudah menumpuk! Pusing banget cuk! *Ndang cepet ta lah rek nek tuku ombenan. Gigiku wis kumat parah!!!-- Lhoalah.. Mene onok kuliah isuk. Bolos maneh wis. Fuck! O:)

Rabu, 22 Oktober 2014

Tuang - Tenggak

Seperti sakit yang kau tuang
Mengambang seperti sandal tanpa pasangan
Seketika kutenggak
Kutenggak!
Lubang pipi kerontang
Kisut keriput dehidrasi sela jemari
Mimpi menancap bulat beraksara nisan
Urat leher yang kemudian mencekik
Gundah membuncah kala sakit lagi kau tuang
Geram kugenggam
Dan kutenggak
Kutenggak!
Riak yang mengulum habis kesabaran
Dendam mengelabuhi palung rindu
Hitam menyelimuti rerumputan pada awan
Ketika kembali kau tuang
Lagi kutenggak
Kutenggak!
Butiran manis; botol nan halus; asap padat
Gigi bocor; akal sehat; iman berotot
Kutenggak!
Habislah sudah
Kureguk, dan kutenggak
Maka seberapapun kau tuang
Dengan senang hati kutenggak
Kutenggak!

Kamis, 16 Oktober 2014

Budak Sungai



Entah apa yang membuatku betah lama-lama menunggunya di pinggiran sungai seperti ini, mungkin lengkuk tubuhnya, derai rambut yang ia biarkan terurai hingga setengah badan. Oh, mungin juga dua belahan yang tak mungkin bisa diabaikan begitu saja oleh pandangan para pria desa sepertiku. Dada dan tulang ekor yang menggoda itu. Tak sabar ingin segera kulahab dengan mantabnya. Tak peduli binatang buas yang katanya dapat menelanku utuh tanpa ampun; penunggu sungai yang katanya sedang mencari budak baru; bapak-bapak penjaga pos ronda yang biasanya keliling desa untuk memastikan bahwa desa benar-benar aman. Aku mana peduli? Aku sudah ereksi sejam dua jam yang lalu. Membayangkan ia datang dan memelukku dari belakang dan payudaranya yang menggembul menggemaskan itu akan menghangatkan punggungku. Oh Yulia. Segeralah datang, abang sudah lama menunggumu.

Sudah setengah bungkus asap kretek kutelan. Bau minyak wangi oplosan di bajuku juga sudah mulai luntur. Aku mulai mengingat omongan warga yang menyebutkan bahwa penunggu sungai dekat tempatku singgah ini sedang mencari tumbal untuk dijadikan penggawa istananya. Namanya sungai Denai. Kata mereka, biasanya mereka langsung saja membawa korban, tetapi ada juga yang menyamar menjadi manusia terebih dahulu kemudian merayunya dengan sihir gaib dan sang korban akan hilang kesadaran begitu saja. Dan orang yang dijadikan samaran biasanya diambil sekalian rohnya. Di desaku memang sudah ada sekitar tujuh pria yang kabarnya digondol oleh sang penunggu. Sebagian percaya, tetapi para pemuda seperti aku malah girang akan berita tersebut. Karena dengan begitu, kita dengan leluasa dapat menggunakan tempat ini untuk berbuat hal-hal tidak senonoh. Seperti yang akan kulakukan saat ini. Oh, soal orang-orang yang hilang tadi, aku percaya bahwa binatang buaslah yang menelan mereka secara utuh-- Rokokku tinggal sebatang, ia belum datang juga. Sialan! Jangan-jangan ia menipuku. Mana mau dia bercinta denganku? Pemuda yang dikata pas-pasan, dompet amatir, bahkan pengalaman bercinta yang masih nol. Tidak tidak tidak! Ia pasti sempat lupa ada janji denganku disini, dan setelah ia mengingatnya, ia akan kebingungan untuk berdandan secantik mungkin, atau mungkin, ia masih membantu ibunya mengemas barang dagangan yang biasanya memang tutup jam delapan malam. Hey! Ini sudah jam sembilan malam! Sialan! Mungkin ia memang melupakan janji denganku dan kencan dengan anak kepala desa yang pasti juga menggilainya. Setelah kupikir-pikir, sebaiknya aku segera pulang, melampiaskan nafsuku dengan onani di kamar mandi. Aku mana tahu jika ada sekumpulan binatang buas yang kelaparan sedang asyik mengintai mangsanya. Aku. Ah tidak! Kenapa tidak kuhabiskan dulu saja rokokku, lagi pula pemandangan di sekitar sini cukup melegakan. Mungkin juga para binatang buas sedang menghabiskan sisa-sisa tulang mangsanya hasil perburuan kemarin, sehingga malam ini mereka cukup menghabiskan waktu untuk bermalas-malasan di sarang sambil mengelus perut saja.

Kutengok arloji klasikku, sudah setengah sepuluh malam. Rokok amblas, badan apek, mata ngantuk dan dingin malam ini munkin cukup untuk dapat mendinginkan air mendidih hanya dalam hitungan menit saja. Sudah cukup, Yulia. Aku pulang. Aku beranjak dari tempat terkutuk itu. Berjalan sambil bersiul mengusir penat-- Siapa itu? Tubuhnya seperti Yulia, bahkan lebih aduhai. Wajahnya samar-samar memang mirip sekali dengannya, bahkan lebih menggoda. Beginikah ia saat rembulan pada tanggal limabelas menyoroti wajahnya lewat celah-celah dedaunan yang bergoyang terhembus angin malam? Aku meladeni rasa penasaranku dengan menghampirinya pelan-pelan. Ia menatapku, bibirnya senyum membuat pipi lembabnya terangkat. Semakin dekat, sudah sangat dekat.

"Kenapa tadi tidak langsung ke pinggiran saja?" Sapaku
"Aku hanya ingin melihat seberapa besar kesabaran abang saja, ternyata abang memang telaten ya? Hehe" Jawabnya dengan suara lirih nan menggoda

Tanpa basa-basi aku langsung menggandeng tangannya kemudian kembali ke tempatku menunggu lama tadi. Pinggiran sungai. Setelah sampai kurebahkan ia di hadapanku. Aku memandanginya sejenak, memang butuh waktu untuk mempercayai semua ini.

"Tunggu apa lagi bang?" Rayunya

Kulumat semua bagian tubuhnya, aku buas, bahkan lebih buas dari binatang yang paling buas. Tak peduli dingin, kotor, bau amis, tak peduli apapun. Ini adalah kali pertamanya aku dapat merealisasikan imajinasi-imajinasi yang sering kupakai saat onani. Benar-benar megah. Tak dapat kubayangkan semua ini akan berakhir.

***

Sudah esok hari, aku bangun dari tempat yang bahkan tak kukenali. Aku kebingungan, ling-lung, tak tahu siapa-siapa dan tak tahu apa-apa. Setelah tengak-tengok kesana-kemari, aku putuskan saja untuk pulang ke rumah. Untung saja jalanan yang sedang kulalui tampak tak terlalu asing. Aku lega, tampak warung kopi di depan. Adalah warung kopi langgananku. Ah, mampir dulu saja, mumpung masih begitu pagi, karena akan sangat nyaman sekali bila ngopi dengan suasana sejuk dan sepi seperti pagi ini. Aku duduk kemudian membaca koran yang mungkin baru saja dilempar oleh kurir. Aku memang selalu membaca koran terlebih dahulu sebelum memesan kopi hitam kesukaanku. Aku sama sekali tak merasakan ada yang aneh di sekitarku, walaupun pak Dadang pemilik warung terlihat diam saja, tidak seperti biasanya. Mungkin masih terlalu pagi, beliau mungkin masih merasa ngantuk yang luar biasa. Atau mungkin, beliau masih ingin bercumbu dengan istri barunya. Ha-ha-ha-- Aku melanjutkan aktivitasku membaca koran saja tanpa mempedulikan diamnya pak Dadang. Kubaca berita tentang olahraga, itu-itu saja. Kemudian politik, sama sekali tak ada yang menarik dan terakhir, kubuka halaman tentang kasus-kasus tentang kejahatan maupun kejadian-kajadian yang bisa menyebabkan orang mati mengenaskan. Mataku terbelalak; jantungku meledak-ledak; pikiran tersentak-sentak. Berita itu memuat tentang korban penunggu sungai Denai, tempat mesumku dengan Yulia malam itu. Juga mayat gadis yang ditemukan mengambang di hilir sungai. Tak lain lagi gadis itu adalah Yulia. Aku menangis, tak tahu harus berbuat apa, aku benar-benar tak percaya Yulia mati dengan cara mengenaskan seperti itu. Aku tak percaya bahwa aku sudah tidak bisa menikmati molek tubuhnya lagi.  Oh tidak! Gadis malam itu bukanlah Yulia yang asli. Dan yang masih tak dapat kupercaya hingga sekarang ini, aku sudah resmi menjadi budak di istana penunggu sungai Denai.