Kamis, 16 Oktober 2014

Budak Sungai



Entah apa yang membuatku betah lama-lama menunggunya di pinggiran sungai seperti ini, mungkin lengkuk tubuhnya, derai rambut yang ia biarkan terurai hingga setengah badan. Oh, mungin juga dua belahan yang tak mungkin bisa diabaikan begitu saja oleh pandangan para pria desa sepertiku. Dada dan tulang ekor yang menggoda itu. Tak sabar ingin segera kulahab dengan mantabnya. Tak peduli binatang buas yang katanya dapat menelanku utuh tanpa ampun; penunggu sungai yang katanya sedang mencari budak baru; bapak-bapak penjaga pos ronda yang biasanya keliling desa untuk memastikan bahwa desa benar-benar aman. Aku mana peduli? Aku sudah ereksi sejam dua jam yang lalu. Membayangkan ia datang dan memelukku dari belakang dan payudaranya yang menggembul menggemaskan itu akan menghangatkan punggungku. Oh Yulia. Segeralah datang, abang sudah lama menunggumu.

Sudah setengah bungkus asap kretek kutelan. Bau minyak wangi oplosan di bajuku juga sudah mulai luntur. Aku mulai mengingat omongan warga yang menyebutkan bahwa penunggu sungai dekat tempatku singgah ini sedang mencari tumbal untuk dijadikan penggawa istananya. Namanya sungai Denai. Kata mereka, biasanya mereka langsung saja membawa korban, tetapi ada juga yang menyamar menjadi manusia terebih dahulu kemudian merayunya dengan sihir gaib dan sang korban akan hilang kesadaran begitu saja. Dan orang yang dijadikan samaran biasanya diambil sekalian rohnya. Di desaku memang sudah ada sekitar tujuh pria yang kabarnya digondol oleh sang penunggu. Sebagian percaya, tetapi para pemuda seperti aku malah girang akan berita tersebut. Karena dengan begitu, kita dengan leluasa dapat menggunakan tempat ini untuk berbuat hal-hal tidak senonoh. Seperti yang akan kulakukan saat ini. Oh, soal orang-orang yang hilang tadi, aku percaya bahwa binatang buaslah yang menelan mereka secara utuh-- Rokokku tinggal sebatang, ia belum datang juga. Sialan! Jangan-jangan ia menipuku. Mana mau dia bercinta denganku? Pemuda yang dikata pas-pasan, dompet amatir, bahkan pengalaman bercinta yang masih nol. Tidak tidak tidak! Ia pasti sempat lupa ada janji denganku disini, dan setelah ia mengingatnya, ia akan kebingungan untuk berdandan secantik mungkin, atau mungkin, ia masih membantu ibunya mengemas barang dagangan yang biasanya memang tutup jam delapan malam. Hey! Ini sudah jam sembilan malam! Sialan! Mungkin ia memang melupakan janji denganku dan kencan dengan anak kepala desa yang pasti juga menggilainya. Setelah kupikir-pikir, sebaiknya aku segera pulang, melampiaskan nafsuku dengan onani di kamar mandi. Aku mana tahu jika ada sekumpulan binatang buas yang kelaparan sedang asyik mengintai mangsanya. Aku. Ah tidak! Kenapa tidak kuhabiskan dulu saja rokokku, lagi pula pemandangan di sekitar sini cukup melegakan. Mungkin juga para binatang buas sedang menghabiskan sisa-sisa tulang mangsanya hasil perburuan kemarin, sehingga malam ini mereka cukup menghabiskan waktu untuk bermalas-malasan di sarang sambil mengelus perut saja.

Kutengok arloji klasikku, sudah setengah sepuluh malam. Rokok amblas, badan apek, mata ngantuk dan dingin malam ini munkin cukup untuk dapat mendinginkan air mendidih hanya dalam hitungan menit saja. Sudah cukup, Yulia. Aku pulang. Aku beranjak dari tempat terkutuk itu. Berjalan sambil bersiul mengusir penat-- Siapa itu? Tubuhnya seperti Yulia, bahkan lebih aduhai. Wajahnya samar-samar memang mirip sekali dengannya, bahkan lebih menggoda. Beginikah ia saat rembulan pada tanggal limabelas menyoroti wajahnya lewat celah-celah dedaunan yang bergoyang terhembus angin malam? Aku meladeni rasa penasaranku dengan menghampirinya pelan-pelan. Ia menatapku, bibirnya senyum membuat pipi lembabnya terangkat. Semakin dekat, sudah sangat dekat.

"Kenapa tadi tidak langsung ke pinggiran saja?" Sapaku
"Aku hanya ingin melihat seberapa besar kesabaran abang saja, ternyata abang memang telaten ya? Hehe" Jawabnya dengan suara lirih nan menggoda

Tanpa basa-basi aku langsung menggandeng tangannya kemudian kembali ke tempatku menunggu lama tadi. Pinggiran sungai. Setelah sampai kurebahkan ia di hadapanku. Aku memandanginya sejenak, memang butuh waktu untuk mempercayai semua ini.

"Tunggu apa lagi bang?" Rayunya

Kulumat semua bagian tubuhnya, aku buas, bahkan lebih buas dari binatang yang paling buas. Tak peduli dingin, kotor, bau amis, tak peduli apapun. Ini adalah kali pertamanya aku dapat merealisasikan imajinasi-imajinasi yang sering kupakai saat onani. Benar-benar megah. Tak dapat kubayangkan semua ini akan berakhir.

***

Sudah esok hari, aku bangun dari tempat yang bahkan tak kukenali. Aku kebingungan, ling-lung, tak tahu siapa-siapa dan tak tahu apa-apa. Setelah tengak-tengok kesana-kemari, aku putuskan saja untuk pulang ke rumah. Untung saja jalanan yang sedang kulalui tampak tak terlalu asing. Aku lega, tampak warung kopi di depan. Adalah warung kopi langgananku. Ah, mampir dulu saja, mumpung masih begitu pagi, karena akan sangat nyaman sekali bila ngopi dengan suasana sejuk dan sepi seperti pagi ini. Aku duduk kemudian membaca koran yang mungkin baru saja dilempar oleh kurir. Aku memang selalu membaca koran terlebih dahulu sebelum memesan kopi hitam kesukaanku. Aku sama sekali tak merasakan ada yang aneh di sekitarku, walaupun pak Dadang pemilik warung terlihat diam saja, tidak seperti biasanya. Mungkin masih terlalu pagi, beliau mungkin masih merasa ngantuk yang luar biasa. Atau mungkin, beliau masih ingin bercumbu dengan istri barunya. Ha-ha-ha-- Aku melanjutkan aktivitasku membaca koran saja tanpa mempedulikan diamnya pak Dadang. Kubaca berita tentang olahraga, itu-itu saja. Kemudian politik, sama sekali tak ada yang menarik dan terakhir, kubuka halaman tentang kasus-kasus tentang kejahatan maupun kejadian-kajadian yang bisa menyebabkan orang mati mengenaskan. Mataku terbelalak; jantungku meledak-ledak; pikiran tersentak-sentak. Berita itu memuat tentang korban penunggu sungai Denai, tempat mesumku dengan Yulia malam itu. Juga mayat gadis yang ditemukan mengambang di hilir sungai. Tak lain lagi gadis itu adalah Yulia. Aku menangis, tak tahu harus berbuat apa, aku benar-benar tak percaya Yulia mati dengan cara mengenaskan seperti itu. Aku tak percaya bahwa aku sudah tidak bisa menikmati molek tubuhnya lagi.  Oh tidak! Gadis malam itu bukanlah Yulia yang asli. Dan yang masih tak dapat kupercaya hingga sekarang ini, aku sudah resmi menjadi budak di istana penunggu sungai Denai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar