Senin, 29 Desember 2014

Cabut


Pulang berpikul ribuan mendung
nestapa nggunung

Dari mata ngepul kabut
solek berparas ngabu kalut

Nafsu tumbuh belukar berserabut
cinta tinggal dongeng hijaunya rumput

Mari senyapkan dengung
mari kepala digantung

Jumat, 26 Desember 2014

13th at Friday

 
Mengapa tidak Friday the 13th? Karena di sini saya tidak akan menuliskan tentang film horror produksi Amerika yang di rilis tahun 2009 itu. Ataupun hari Jumat tanggal 13 yang dipercaya mengandung berbagai misteri, mitos, dan lain sebagainya. Tidak sama sekali karena angka 13 yang saya maksud juga bukan berupa tanggal, melainkan sesuatu yang menurut saya istimewa dan perlu saya tulis. Benar, angka 13 sendiri sering disebut angka sial dan patut dihindarkan. Maka dari itu di beberapa negara seperti Amerika, China, bahkan di Indonesia, tidak akan kita jumpai gedung-gedung pencakar langit yang memiliki lantai 13 di dalamnya. Di dunia ini sendiri terdapat bermacam-macam kepercayaan, mitos, dan legenda, yang tidak terhitung banyaknya. Namun bagi kaum rasionalis, kepercayaan-kepercayaan orang-orang tua tersebut malah ikut punah seiring dengan modernisasi yang merambah di seluruh sisi kehidupan manusia. Bergantung kita ingin percaya dengan hal semacam itu atau tidak sama sekali. Kalau saya jelas tidak. Apalagi mengenai hari Jumat tanggal 13 yang sering dianggap keramat. Saya malah lebih suka mempercayai bahwa hari Jumat kliwonlah yang paling keramat. Maklumlah, wong jowo tulen bung! Hehehe-- Memang terkadang kita harus membuktikan terlebih dahulu sebuah hipotesis yang sudah dianggap benar oleh kebanyakan orang namun belum tentu benar. Memang ada peluang mitos itu muncul dan benar-benar terjadi beberapa kali dalam sebuah kehidupan, tetapi tidak akan mungkin bila mitos yang ditakutkan akan berlaku sepanjang hidup. Cukup mengenai mitos, saya akan membahas tentang angka 13 yang saya alami Jumat sekarang. 13 adalah rekam jejak setelah berlalunya 12; 13 adalah catatan tentang manis pahit sebuah labirin kehidupan; 13 adalah proses sederhana menuju kesempurnaan hakiki; 13 merupakan jalan untuk menembus angan-angan yang masih berawan; 13 adalah doa yang telah terkabulkan juga janji yang telah tertepatkan; 13 adalah keistimewaan yang jelas diberikan oleh Tuhan di hari Jumat; dan 13 adalah kebahagiaan yang tak akan pernah saya lupakan. Setidaknya itu adalah kata-kata yang pantas untuk menggambarkan 13 yang saya alami Jumat sekarang. 13 bulan telah terlewati tepat di hari Jumat, sayang. Semoga tidak ada kesialan yang menimpa. Semoga tidak ada mitos yang berlaku. Aku akan mencintaimu, tak hanya sampai 13 bulan saja. Berbahagialah di hari yang dikata sial ini, tentunya hanya bersamaku.

Sabtu, 13 Desember 2014

Kurt Cobain Jauh Lebih Beriman dari Fir'aun!


Tak pelak lagi, saat menghidupi hidup, tak akan jarang kita temui berbagai kesulitan, cobaan dan hambatan. Begitulah jalan yang akan dilalui semua umat untuk mencapai setingkat derajat yang lebih tinggi. Mengenai hal itu, kita tidak akan pernah ngeh tentang kesulitan apa saja yang tengah menghadang gagah di depan. Kali ini saya ingin membahas bagaimana cara menikmati kesulitan. Kebetulan sekali sekarang ini kehidupan saya sedang dalam  keadaan sulit, entah akan ada lagi yang lebih sulit atau tidak. Saya sedang hidup dalam perantauan, menjalani perkuliahan di salah satu perguruan tinggi di Surabaya, katanya sih mencari ilmu dan pengalaman, katanya sih dijamin bakalan sukses di masa depan. Dijamin sukses ndasmu a? Tidak segampang itu bitch! Sudah tak terhitung berapa kali aku rela tidak makan selama beberapa hari untuk mengirit uang saku, tidak bisa tidur karena kelaparan, hutang sana-sini, dan sebenarnya bukan melulu soal finansial saja yang sering kukeluhkan. Banyak cuk! Banyak! Buanyak! Cuk!
Lalu bagaimana aku menghadapinya? Kuakui sesekali aku pernah terbujuk oleh petuah Maria Tegoeh-- motivator handal katanya-- bahwa hidup harus dijalani dengan hikmat tanpa mengeluh dan harus selalu bilang "Aku bisa!", "Aku dapat!", dan lain-lain. Dan nyatanya hidup tak melulu soal bagaimana kita bersyukur, tetapi juga bagaimana cara kita mengeluh. Mengeluh disini bukan berarti menuntut, melainkan bagaimana cara kita mengakui bahwa kodrat kita yang sebenar-benarnya adalah makhluk rapuh ciptaan Tuhan. Kita tidak harus mengaku sangat kuat di depan Tuhan kita bukan? Bukankah Tuhan mengutuk kepribadian yang seperti itu? Coba ingat kembali kisah tentang seorang Raja Fir'aun yang mengaku bahwa dirinya adalah Tuhan. Apakah Tuhan kemudian mencintainya dan memertahankan tahtanya lebih lama? Jawabannya adalah sangat benar-banar tidak pernah tidak! Tuhan dengan segala amarahnya segera membinasakan Fir'aun dalam sekejap melalui tongkat Musa. Maka dari itu, mengapa harus berkata bisa jika memang tidak bisa? Mengapa harus bermunafik dan beromong kosong jika kita masih diberi kesempatan untuk berkata jujur? Maka dari itu juga, ada kalanya kita mesti frustasi, menunjukkan kelemahan dan bersimpuh kepada Tuhan. Memang benar Tuhan tidak akan menguji hamba-Nya melebihi batas kemampuannya, namun tak menutup kemungkinan jika Tuhan akan menguji hamba-Nya tepat pada titik maksimal kemampuannya. Dan pada saat itulah rasa ingin menyerah akan cepat timbul. Tidaklah munafik, pasti kita akan banyak merengek minta diringankan beban yang menimpa kita. Jadi, jika harus merengek, kenapa tidak? Ahmad Dhani sepenuhnya benar soal lagunya, menangislah bila harus menangis, karena kita semua manusia. Manusia diciptakan juga untuk menangis, bukan hanya tertawa bahak. Juga untuk mengeluh, bukan hanya tegar. Juga untuk frustasi, bukan hanya berlaga layaknya tanpa beban. Manusia diciptakan untuk jujur dalam bertutur dan berperilaku, bukan untuk bermunafik. Sekarang mari tengok cara hidup mendiang dewa Grunge, Kurt Cobain, pentolan band agung Nirvana-- yang bahkan aku tak tahu-- sampai kapan ia akan berhenti dipuja dan dikenang oleh umat penggila musik cadas. Cara hidupnya yang disimbolkan dengan kebebasan dan kebrutalan ternyata hanya sebuah bentuk keluhan terhadap banyaknya hal-hal yang membuatnya frustasi. Bahkan ketenaran yang ia dapat pun juga membuatnya begitu frustasi. Baginya, hal duniawi sudah tidak lagi nikmat. Hingga akhirnya ia memilih menghukum dirinya sendiri karena merasa tidak mampu menghadapi semua hal yang membuatnya frustasi. Bagiku itulah insan sejati, kalau kacau ya kacau saja, tidak usah sok rapi. Kalau cengeng ya akui saja, tidak usah sok kuat tetaapi diam-diam menyeka air mata dalam kesepian. Kalau mau mengaduh ya mengaduh saja, tidak usah diam dalam kepalsuan. Kesimpulannya, Tuhan mencintai makhluknya karena mereka lemah dan patut untuk dikasihi, bukan karena mereka merasa sangat kuat dan dapat berdiri sendiri. Jadi, masih mau berlaga tegar?