Kamis, 20 November 2014

Ocehan Angka


"Jangan beritahu aku ada disini..." Kau tahu aku sedang bersembunyi atau tepatnya berusaha menyembunyikan diri, mereka yang gila berjubah keemasan sedang mencariku, menjadikanku sebuah arti surgawi yang ujungnya aku menjadi tujuan hidup. Kau tahu aku sedang berlari, mereka yang bermahkota sedang mengejarku, menjadikanku sebagai sosok yang dapat membuat rasa lelah mengembara setelah beribu keringat dan dosa gugur saat melakoni sebuah pengembaraan besar-besaran yang berisi cerita peperangan ataupun dongeng ironi seperti tentang tumpah berjuta darah juga perasingan bagi yang kalah, yaitu perburuan tentangku. Benar saja jika segala cara mereka anggap tak akan menuai siksa dari yang Mahaasih atau mungkin mereka tahu apa sesungguhnya arti itu sebuah dosa namun enggan meyakininya dengan benar yakin. 

"Jangan beritahu aku ada disini..." Kau tahu ku tak sanggup lagi berlari, terbang dan berenang seperti figur dewa yang sering dibualkan keberadaannya melalui layar kaca atau mungkin juga melalui kertas sutera bergambar seperti aku. Kau tahu ku telah lelah diombang-ambing kesana-kesini kemudian kembali lagi tercabik-cabik bagai bulu merpati terjarah badai yang sedari dulu terlipat rapat-rapat dalam pergantian zaman ke zaman juga  musim ke musim. "Pukul aku sekencang mungkin saat mereka mulai menebar hawa nafsu di setiap penjuru cakrawala-- meluas dan merambat hingga ke sudut kosong pun semesta lari darinya-- hitam meranggas ke dinding-dinding memenuhi ruangan semesta kemudian menyesakkan lapisan kulit aorta dan menjadikannya penyakit berwabah berbahaya yang waktu penularannya hanya sekian kedip mata saja-- maka

Bunuh saja aku ketika mereka mulai mendekat..." Kau tahu ku tak sejernih penglihatanku di waktu aku baru dihadirkan ke dunia melalui mesin percetakan dahulu dan ya, itu sudah sangat dahulu. Lihatlah penglihatanku tak setajam pedangku saat mereka masih duduk di bangku sekolah dasar dan menjadikanku jalan jembatan untuk penggayuh mimpi suci mereka kala itu memang begitu sucilah mereka benar-benar penuh imaji yang saat ini telah mereka lupakan dan kubur dalam-dalam selubuk lautan. Dahulu mereka memiliki sayap kecil di dua sisi punggungnya yaitu haq dan batil membuatku berharap banyak saat kelak mereka tumbuh dewasa dengan meraih pucuk kemenangan dengan menumpas kebatilan yang membenalu di balik punggung sebelah kiri mereka atau malah akan lebih membuatku bahagia lagi jika keduanya akan mekar bersamaan hingga bayangan mereka menaungi lautan dan terbang menggapai angan-angan berjalan seimbang tanpa sedikit pun pincang karena ku yakin sang Khaliq tak mungkin menciptakan kebatilan tanpa sebuah tujuan. Pedangku maupun penglihatanku tak lagi bernilai kini.

Kau tahu mereka yang sekarang lebih menyukai aroma anyir yang mencekik selaput hidung mancung meski berbulu lebat sekalipun. Mereka lebih suka melihat seember darah tumpah dari tubuhku yang berwarna merah bersinar di mata rimbun hijau daun pisang mereka. Mereka tak menghendaki tubuh sekawanku yang ringkih untuk bersanding bersamaku yang mereka paksa untuk selalu perkasa selayaknya raksasa iblis bertubuh merah merata bergambar nominal angka sebanyak-banyaknya. Akulah angka, lihatlah merah yang mereka ciptakan sendiri demi mendapatkanku yang lebih merah dan terlebih-lebih merah lagi hingga semuanya merah dan hanya ada merah. Aku iri melihat kawan-kawanku di sana, dihargai meski berwarna putih mengkilap logam atau hijau rimbun samudera. Namun mereka yang di sana ada di kalangan yang berbeda sejak kasta itu ada. Mustahil aku bisa mereka dapat meski berjuang mereka hingga tulang melunak dan pikiran kerontang terperas habis melalui keringat. Kau tahu ada dinding besi kokoh di antara kami. Kami tak dapat lagi serupa pelangi di penghujung badai atau setandan mendung di derasnya terik matahari.

Entah sampai kapan aku harus bersembunyi sampai kapan merintih dalam doa dan dzikir agar semua orang bisa menikmatiku dan tak lagi menjadikanku alasan untuk sebuah pergulatan antar kasta. Akulah angka yang mereka cari hingga kini dan entah sampai kapan. Aku tak bisa memohon kepada-Nya untuk mencabut nyawaku karena aku memang sudah  lama mati dan hanya diperumpamakan hidup saja oleh pemikiran gila mereka tentangku. Aku ingin lenyap bersamaku yang lain.

"Kawan, lenyaplah bersamaku..."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar