Selasa, 31 Desember 2013

Wanita Tua dalam Jendela Meratapi Hujannya


Hawa panas berombak luap di tengah kacaunya suasana dalam Bus Kota
Para Imigran dan Transmigran dengan berbagai macam barang: berdesakan berebut tempat singgah
Pengamen dengan suara lirih dan para penjual yang bersuara lantang
Teriakan kondektur yang bising; meretakkan gendang telinga
Juga berbagai bau tak sedap, entah darimana
Bosan, aku muak!
Aku tak bisa bergerak, tubuhku berkeringat, wajahku mulai pucat
Sesekali mengintip pemandangan di balik kaca jendela
Sesekali mataku tertuju kepada para penumpang; Bisu, angkuh, kaku
Aku tak peduli
Hingga ku dapati seorang nenek dengan barang-barangnya, entah apa itu
Aku terus memandanginya: pandangannya kosong, terus memandangi sesuatu di balik kaca
Ia seperti berharap pada sesuatu
Hingga berselang waktu tak lama kemudian, rintik-rintik halus menyentuh permukaan sisi luar jendela
Sedikit teduh; Meneduhkan
Sang nenek tersenyum sambil mengelap sisi dalam jendela dengan jemari keriputnya
Beliau seperti merindukan sesuatu di baliknya, pikirku
Ia bagai ingin bermain bersama sang rindunya
Tak berdaya;
Sang nenek terperangkap dalam jendela.


Bojonegoro, 31 Desember 2013

Senin, 23 Desember 2013

Sampaikanlah: Melalui Hujan



Aku
Hanya seorang pungguk
Dengan jari-jemariku yang kerdil
Selalu berharap dapat menggaitmu, meraihmu, menarikmu
Ke dalam gubuk ringkihku

Kau
Singgasanamu terlalu suci untukku
Sering ku bergumam:
"Pantaskah aku mengijakkan kaki kotorku ke dalamnya?
Meski telah melepas sepasang sandal lusuh, aku tetap merasa bukan siapa-siapa disana"
Benar, kau bulanku
Bulan bagi seorang pungguk

Rindu
Ketika sang pungguk mulai merindukan bulannya
Ketika aku merindukanmu
Tiada hal yang dapat seorang pungguk lakukan
Hanya ketika sang hujan enggan berkunjung
Hanya ketika derasnya mengalir
Ketika gemuruhnya berkumandang
Melambai; Membelai
Cik-gemericik para bintik
Bukan lain hanya sekedar menyelipkan tiap keping rindunya ke dalam tiap butir hujan
Kemudian melamun seribu arah: tertuju pada hujan
Berharap agar sekujurmu tergerogoti habis olehnya
Lalu kau rasakan batapa agung rindunya
Rindu seorang pungguk.


Surabaya, 23 Desember 2013

Jumat, 20 Desember 2013

Menikahlah: Mentari dan Hujan





Tuhanku teragung
Tuhan segala alam
Tuhan semesta para makhluk

Dengan bersimpuh dan tertunduk lusuh di hadap-Mu
Bolehlah hamba dan hamba-hamba lainnya menghadirkan setangkai do'a untuk-Mu 

"Izinkan hamba menyimpan para hujan untuk sejenak menghela nafas lega

Biarkan hamba menjemput sang surya yang bersahaja dengan segala cahayanya

Kami merindunya, hangat selimut teriknya"

Maafkan kenaifan hamba
Hamba memang sekedar seorang hamba:
Berkulitkan dosa dan kurang pandai bersyukur
Hamba sulit dalam berkata-kata
Bukan hanya lembut sentuhan hujan, tetapi juga guyuran keringat mentari
Sejujurnya, hamba ingin menggandeng mesra keduanya
Hamba bahagia ketika tenggelam larut dalam hujan
Namun hamba juga nyaman dalam pelukan sang mentari.

"Bukankah keduanya berjalan di atas bumi yang sama?

Bukankah mereka hidup di langit yang sama?

Mengapa mereka saling bersipu satu sama lain?

Ketika sang hujan datang; sang surya berucap salam lalu sembunyi;
Begitupun sebaliknya.




Surabaya, 20 Desember 2013

Kamis, 19 Desember 2013

Cerita PKKMB

Saya bernama lengkap M. Habib Syafaat, tetapi entah iblis macam apa yang membuang kotoran di otak teman-teman saya sehingga dengan bedebahnya dan seenak kepala mereka memanggilku dengan sebutan akrab Bob. Memang kurang masuk akal, tetapi di sini saya tidak akan membahas asal-usul mengapa saya dipanggil Bob. Terserah siapa saja mau memanggil saya dengan nama yang mana, asal jangan dipanggil orang ganteng saja. Baiklah, saya akan bercerita sedikit tentang pengalaman saya pada waktu ospek sebagai Maba Fakultas Bahasa dan Seni di UNESA angkatan 2013. Seperti manusia normal pada umumnya, saya pun sedikit merinding waktu mendengar kata ospek. Namun jangan salah, walaupun banyak yang bilang ospek itu tidak enak atau pun tidak nyaman, tetapi saya berani memastikan jika kegiatan tersebut akan menjadi kenangan yang tidak akan pernah kalian lupakan! Serius!

****

Bermandikan kolam susu di tengah cahaya rembulan, bersuguhkan berbagai macam buah-buahan oleh para bidadari surga. Perlahan meredup, kemudian terpecahkan oleh suara alarm telepon genggam yang saya buat tadi malam. Ya, tadi itu hanya mimpi. Waktu menunjukkan tepat pukul 04.00. Badan terasa pegal dan enggan untuk bangun dari kasur yang tidak terlalu empuk. “Seharusnya hari ini aku sudah ada di rumah, bertemu dengan keluarga, juga teman di kampung halaman yang jarang kusapa,” geram saya dalam hati. Setelah mengucek mata berkali-kali, saya segera menuju ke tempat yang benar-benar membuat saya ingin kabur dari dunia ini, kamar mandi. Mungkin tak perlu kujelaskan lagi apa-apa saja yang saya lakukan di sana. Setelah benar-benar melek oleh dinginnya air pagi kamar mandi, saya bergegas memakai pakaian dan atribut yang ditentukan pada saat Pra-PKKMB, antara lain: Baju putih lengan panjang, celana putih panjang, kaos kaki putih polos, sepatu hitam pantofel polos, kalau untuk pakaian mungkin masih bisa dibilang wajar, tapi kalau untuk atribut? Rasa-rasanya tak bisa dibilang wajar deh, masak iya sih cuk, kami disuruh memakai tas yang harus kami buat sendiri menggunakan kain mori? Memangnya kami ini poba (pocong baru) apa? Dan satu lagi yang terlihat aneh tapi tidak bin ajaib sama sekali, yaitu atribut kepala dan mulut yang jika dipakai akan memiripkan kami dengan ksatria monyet Hanoman yang gagah dan beringas (Lambang kebanggaan kami anak Fakultas Bahasa dan Seni). Namun jangan salah cuk, ya di sini ini letak keseruan sebenarnya, letak perbedaan kami dengan anak fakultas lain yang atributnya menurutku biasa-biasa saja. Ngomong-ngomong dibanding fakultas lain, bisa dibilang penampilan kami lebih ekstrim, lebih menantang, dan lebih istimewa pokoknya. Kembali ke jalur cerita, setelah berpakaian lengkap, saya bergegas menuju kampus. Tentunya dengan hati yang serba was-was, gelisah, disertai rasa takut terhadap kakak Kamtib yang wajahnya sok garang dan murah hati. Di jalanan yang sedang kulewati tampak banyak sekali maba-maba yang berpakaian sama seperti saya, berjalan dengan langkah gontai dan getir seolah-olah kami ini adalah para kambing yang akan disembelih pada waktu hari Qurban. Kami pasrah dengan apa yang akan terjadi di waktu nanti. Hanya berulang-ulang memanjatkan doa kepada Yang Maha Kuasa dan meminta doa restu dari orang tua agar selamat dan dipermudah urusan saya. Setiba dikampus.

“Wiiiuuuuuwiiiiuuuuwiiiiuuuuuuu” suara sirine memecah belah samudera keheningan, tanda kami harus bergegas menuju lapangan untuk ditertibkan. Kami berlarian panik seperti terguncang gempa. 

“Cepat Dik!” bentak para Kamtib

Saya hanya bisa bersyukur karena saya tidak terlambat, di sana banyak maba yang dihukum karena terlambat, sementara itu ada sebagian Kamtib yang menertibkan kami agar segera berbaris dengan rapi. “Tanpa Suara!” teriak mereka seperti penjajah kepada tawanannya, suasana pun menjadi hening, penuh rasa takut dan disertai kantuk yang maksimal tentunya. “Tetap Kondusif!” lanjutnya. Tak lama setelah pemeriksaan atribut dan lain-lain oleh Kamtib selesai, acara diisi oleh Si Acara, sedikit lebih lega, tetapi tetap saja kami masih kurang semangat karena alasan kurang tidur, belum sarapan, dan lain-lain.

“Selamat pagi adik-adik?” sapa genit mereka

“Pagi.(setengah lantang kurang semangat)” jawab kami

“Loh. kok kurang semangat? ayo diulang sekali lagi. Selamat pagi adik-adik!” Dilanjutnya karena kurang puas

“Pagiiii!” Jawab kami dengan lantang, namun dengan sedikit unsur keterpaksaan. Singkat cerita, di sana kami disemangati, dibimbing untuk bersuka ria. Namun itu tak berlangsung lama, karena acara diisi lagi oleh Si Kamtib. Sialan!

“Berdiri Dik!” teriak Kamtib. Kami pun segera beranjak dari duduk kami dengan gemuruh suara-suara tawa, bercanda, dan lain-lain. “Tanpa suara!” pungkas mereka. Kami terbius oleh kata-kata tersebut. Semuanya diam. Nah, di sinilah acara yang paling popular dan bergengsi dimulai. Acara itu adalah O-R-A-S-I! Di sana kami dibimbing untuk mengeluarkan suara, pendapat, ataupun uneg-uneg tentang acara PKKMB, tentu banyak muka-muka sok pahlawan dari kalangan kami yang dengan beraninya mengeluarkan pendapat, walaupun harus menentang Kamtib sekalipun. Tepuk tunggal untuk mereka! *Plok! Setelah itu kami diistirahatkan, benar-benar kami tunggu saat-saat istirahat seperti ini, karena di situ kami bisa merelakan dahaga, membuang lapar, mengkonsumsi udud, dan berbincang-bincang satu sama lain untuk melepas penat.

Namanya Bagas, dia teman satu kelompok saya. O iya, dalam kegiatan PKKMB (ospek) dibentuk sekitar 28 kelompok dari berbagai jurusan yang berbeda.

“Edan cuk, badanku pegel banget. Asu!” ujarnya memulai percakapan

“Sama cuk, aku juga!” jawabku

“Masih seminggu lagi bro, iso kuat gak yo iki?” lanjutnya

“Ah santai, dijalani saja, yang penting jangan sampai absen.” kataku meyakinkan, padahal saya tahu perasaan kami sama (sama-sama takut dan gelisah). Ah biarkan saja, yang penting saya masih hidup. Lagi-lagi suara (bedebah) sirine berbunyi tanda waktu istirahat habis, kembali kami berlarian menuju lapangan dan berbaris sesuai kelompok masing-masing. Orasi ronde kedua pun dimulai. Ya benar, seperti orasi pertama, kami disuruh untuk maju ke depan dan menyuarakan aspirasi kami. 

“Ayo dik, jangan bisanya cuma mbebek, keluarkan pendapat kalian! Kalian sudah Mahasiswa! Ada label Maha didepan Siswa!” suara dorongan dari Kamtib agar kami berani maju dan bersuara. Pokoknya acara ini adalah acara yang paling berkesan bagi saya, walaupun saya sering tertidur pulas pada waktu acara ini berlangsung. Berselang waktu cukup lama, kami dihadapkan kembali pada Si Acara untuk pemberian tugas-- yang membuat kami tidak bisa tidur sampai shubuh-- untuk hari berikutnya, kemudian  kami dikondisikan untuk pulang. Begitupun hari-hari selanjutnya juga berjalan seperti hari pertama. Ospek dilakukan selama 7 hari, banyak sekali pelajaran-pelajaran yang dapat saya ambil dari kegiatan tersebut. Mulai dari kekompakan, kebersamaan, melatih kejujuran, keberanian, dan menunjung tinggi nilai kebenaran (jancuk bahasane nggateli). Terima kasih kepada kakak-kakak yang telah membimbing kami. Semua kesan suka maupun duka juga tertuang di sana. Tangis, tawa, susah, bahagia, sedih, senang, lelah, juga semangat. Semua terangkum dan termaktub dalam setiap rangkaian kegiatan tersebut. Oke cuk, itu hanya secuil gambaran umum seputar Ospek Fakultas ala Bob, yang jelas tak semua ospek itu menyeramkan seperti yang kita bayangkan, saya saja dulu takut setengah hidup mendengar yang namanya (kedzaliman) ospek. Tapi setelah saya jalani sendiri, ternyata ospek itu asyik juga, sangat asyik tepatnya.

Kenangan yang tak kan pernah terhapuskan oleh bahana badai sekalipun. How do you think?

https://www.facebook.com/MuhammadHabibSyafaat?ref=tn_tnmn
Aku durung adus cuk! :D

Rabu, 18 Desember 2013

Hanya Aku dan Hujan

Aku tertekan; mimisan

Tak dapat lagi ku tahan

Tak ingin lagi ku rasakan

Kemudian ku angkat kepala perlahan

Beratnya tubuh yang tak ku pedulikan

Hanya gemuruh gemericik yang anggun; membuatku penasaran

Berjalan menuju pintu depan

Ku buka dengan nafas panas kemerahan

Tampak berjuta bening air menukik ke permukaan

 

Hal semacam apa ini?

Siapa yang Maha Besar: yang dapat membuat hal semacam ini?

Bagaimana Sang Maha Besar membuat hal semacam ini?

Kapan Beliau menyiapkan hal semacam ini?

Namun jika di tanya "Mengapa?", "Menghilangkan dahaga bumi", pikirku.

  

Inilah Hujan

Dengan penciptanya: Tuhan

 

Termakan, ku tertelan hujan

Jiwaku semakin tertenggelamkan

Ragaku menggigil seakan berontak, tak ku hiraukan 

Para burung kembali pulang

Sedangkan para buyung keluar dari sarang

Mereka sibuk bermain dengan hujan

Akupun asyik menatap hujan yang mempermainkan mereka

 

                  Memburu sepi

                  Aku sibuk mencari letak titik keindahan sebenarnya

                  Dimana aku benar-benar bisa menikmatinya

                  Dimana tak ada makhluk satu pun yang menyertaiku

                  Dimana kami berdua bisa saling bercumbu

                  Ya, hanya aku dan hujan.

 

 

Surabaya, 18 Desember 2013

Selasa, 17 Desember 2013

Potret Mendung Senjakala


Lautan langit tak lagi berombak
Sang surya seakan pasrah dan mengemasi kilat cahayanya
Hanya senja dengan sebilah raut wajahnya yang murung
Dingin, beku: Mendung bergelayut
Transparan, senyap, lalu padam

Gelap telah tersatukan
Gumpalan para awan pra-hujan
Menggenangi langit senja
Para peri menyiapkan butirnya
Para butir segera menghantamkan tubuh lembutnya ke bumi
Sang bumi yang telah lama membongkah retak mulutnya
Dan akhirnya..............
                                 
Keika sang Esa mengutus para Malaikat-Nya
Ketika(itu juga) mereka menabuh genderang masing-masing
Disertai kilat cahaya; menerobos atmosfer
Sesekali terang, kembali gelap
Sesekali riuh, kembali sepi
Para peri mulai menaburkan serbuk dengan gemulai
Ratusan, ribuan, jutaan, bahkan tak terkira
Menyentuh segala macam permukaan

Senja bukan lagi senja
Jingga hanya tersisa kelabu
Aku merasa bukanlah diriku
Kering keras kaku tersisa agung;
Meneduhkan.



Surabaya, 17 Desember 2013

Perakit Rindu: Hujan

Ketika sang tirai tertutup
sang mendung murung
pilar-pilar langit menggeliut menciut
Desau angin berbuah desir semilir
cagar alam menyeringai
pohon tanpa ranting
ranting tanpa dahan
dan dahan tanpa daun
berharap pada reruntuhan awan
Awan berwajah kusam yang siap mencucurkan butir-butir air matanya; berlinang bak intan berlian
Dan aku pun, juga sedang bersandar pada tembok harapan tentangnya
(Hujan).

Dan akhirnya, pesta para peri dimulai, pada akhir terang, senja, ya.
Mereka sebar serbuk-serbuk penyejuk, kemudian menari dalam alunan takbir yang dihasilkan hujan
Sang Esa telah menunjukkan keagungannya
Membasahi seluruh alam semesta dengan karya indah-Nya. Hujan.

Ketika matahari tak kunjung berdiri, meski nafasnya masih terkenang melalui celah-celah pecah sang mendung.
Geliat jemarimu dingin, kaku kuku kakimu beku
Pelupuk matamu basah, dan rindumu akan segera mewabah.


Surabaya, 17 Desember 2013