Sabtu, 29 November 2014

Penjagal Rimba

Udara terasa anyir bergilir kala pagi itu. Terpampang jelas pada lidah-lidah yang membujur kaku. Angin yang mengitari desa seolah menggenggam berita yang tak lagi tabu, bersimbah merah semu. Memang sudah teramat biasa, saat kau bangunkan urat-urat membiru dari alas empuk tempat tidur yang hanya mengawang samar dan kian meredup saat kau tergugah dari mimpi, kemudian kau mendengar kabar tentang penjagalan, pemerkosaan dengan membunuh, pemerasan dengan membunuh, pergulatan, percintaan, dan semua motif kejahatan yang hanya akan berujung pada pembunuhan. Lalu apa yang telah terjadi tadi malam, atau dini hari tadi? Kau akan secara cepat kilat mengetahuinya dari cakap yang merambat ke cakap oleh bibir berurat milik ibu-ibu pedesaan. Penjagalan dengan perlawanan lagi.

Di sini tak ada ironi, semua dibasmi keji tanpa basa-basi seperti babi jika sekedip saja tak berhati-hati. Setidaknya kau dapat menambah dua atau tiga pasang mata di kepala untuk berjaga-jaga dengan cara menjarah mata korbanmu, atau sepasang matamu yang akan dijarah terlebih dahulu dan kaulah yang akan berperan menjadi korban. Di sini tak ada kuasa atau kebijakan hukum, alam dan rimba yang sepenuhnya berkuasa atas segalanya. Tak ada batasan moral dan perilaku, semuanya bak hewan saja: lepas telanjang tanpa aturan yang mengikat rapat, haus kekuasaan membuat sempurna nafsu akan keserakahan, kejam: saling mangsa bahkan sanak atau saudara seatap. Mati dengan atau tanpa panca indera; tergantung di pohon melur tanpa kaki dan alasnya yang menjulur; menjadi hidangan dini hari bagi para nokturnal mematikan, atau apa pun yang sekiranya dapat menjadi cara yang tragis dan tak logis untuk mati dapat kau temui di sini. Tak ada pilihan untuk mati secara manusiawi. Namun alam yang berkuasa membuat segalanya berjalan secara sejajar dan seimbang, jika ada yang basmi-membasmi, maka ada juga yang beranak-pinak. Maka tak akan ada habisnya hal semacam itu terjadi di sini.

Perkenalkan namaku Alam, aku adalah salah satu pemuda yang disegani di sini. Aku sudah menjagal setidaknya berpuluh-puluh orang kemudian merampas harta mereka untuk hidup berhari-hari. Cobalah melawan, maka akan kubunuh tanpa segan. Aku ingat kala pertama kali aku menjagal. Malam tanpa bulan dan pekat menyelimuti permukaan hutan ranting dan dahan tampak menyeringai menampilkan keperkasaan alam. Aku sembunyi dibalik belukar tajam tak kupedulikan bagaimana ia menggores-gores bagian punggung yang sedang tanpa balut pakaian. Aku sedang mengintai mangsa pertamaku saat itu tak kupedulikan bagaimana ganasnya peristiwa kemarin tentang tetangga yang setengah bagian tubuhnya habis disantap binatantg buas tepat di sini karena aku sangat yakin akulah yang terganas dan mereka tak ada apa-apanya dibandingkan denganku. Instingku lebih tajam tidak seperti otak tolol mereka yang tidak acuh akan strategi perburuan. Memang harus begini kata kakekku. Kau harus merasa terganas melebihi apapun di sekelilingmu atau mereka akan menghabisimu terlebih dahulu sebelum dirimu. Alam menyukai dan tentu akan sangat mendukung mereka yang terbuas dan paling beringas. Maka tanpa sedikit pun ada keinginan untuk kembali pulang dengan tangan kosong, aku menggertak diriku supaya naluri kebinatanganku yang buas tergugah dan meraung; mengaum sekencang mengkin. Ia mulai datang.

Lelaki tua paruh baya mengenakan kemeja berjalan pelan menatap samudera langit yang sedang kosong seperti mengharapkan sinar rembulan-- yang bisa ia gunakan untuk berlindung dariku dan mataku tertuju tepat di kilau keemasan yang remang samar tampak pada pergelangan tangan dan leher si mangsa. Sejenak aku membayangkan bisa meraihnya dan membawanya pulang kemudian kakek akan menceritakan dongeng penjagal zaman silam-- yang sangat aku idolakan-- sebagai hadiah. Aku melemaskan otot-otot perkasa yang kumiliki sebelum menyeringai tajam dan menertawakan dalam hati betapa bodohnya si mangsa yang sebentar lagi akan kujarah karena berani-beraninya sendiri mengitari hutan tanpa ada pengawalan juga tanpa dua atau tiga pasang mata tambahan di kepala untuk berjaga-jaga. Ia saat ini di depanku, membuat mataku berbinar membayangkan malam ini segala hal akan berjalan mudah dan sesuai harapan kemudian akan segera berlalu. Aku mencegah laju lelaki tua tersebut dengan berbekal golok di tangan dan mengaum dengan bingarnya mencoba membuat kakek tadi merasa terpojokkan kemudian ia tak akan bisa lagi berpikir panjang-panjang meratapi betapa ganasnya aku kemudian berlutut menyerahkan semua yang kuinginkan dengan segera. Pada dasarnya aku tak pernah membayangkan tentang pembunuhan karena saat itu nuraniku masih berfungsi dengan baik. Ia mengeluarkan pisau dan mengancamku untuk segera menjauh. 

Aku sudah mengatakan segala hal, aku tidak ingin membunuh, aku hanya ingin ia menyerahkan segala yang ia punya dan dongeng tentang sosok penjagal akan diupahkan kepadaku jika aku berhasil membawa buah tangan saat pulang. Ia mencoba menyerangku namun kebuasanku-- sedang dalam puncaknya dan tak akan ada yang bisa menandingiku saat ini bahkan sosok idola yang katanya pernah menjagal seribu lebih mangsanya tanpa sekali pun gagal-- memanduku dengan sigap menghindar dari serangan cuma-cuma yang akhirnya membunuh sebagian nurani dan kakek tadi. Tanpa ironi, ia kubasmi keji tanpa basa-basi seperti babi karena sekedip tak berhati-hati. Ini pertama kalinya aku melenyapkan nyawa seseorang. Lehernya menganga bekas sabetan golok yang sedari pagi telah kuasah hingga begitu tajam. Aku gagal mendapatkannya tanpa harus membunuh. Aku akui aku gagal pada pertama kali aku menjagal. Malam ke-dua.

Kembali lelaki tua paruh baya mengenakan kemeja berjalan pelan menatap samudera langit yang sedang kosong seperti mengharapkan sinar rembulan-- yang bisa ia gunakan untuk berlindung dariku dan bayanganku tertuju tepat pada  bongkahan-bongkahan besar pasti terdapat pada gerobak yang ia bawa bersama tiga kawannya. Memang ia tak sendiri namun apalah yang bisa menandingi kebuasanku malam ini. Sejenak aku membayangkan bisa meraihnya dan membawanya pulang kemudian kakek akan menceritakan dongeng penjagal zaman silam-- yang sangat aku idolakan-- sebagai hadiah yang belum tuntas diceritakan kakek pada malam pertama karena menurutnya apa yang telah kudapatkan tak sebanding untuk membayar tuntas dongeng yang kuidamkan. Aku melemaskan otot-otot perkasa yang kumiliki sebelum menyeringai tajam dan menertawakan kebodohan yang mereka anggap apa yang sedang mereka lakukan sudah cukup untuk menghadang buasnya aku dengan memiliki empat pasang mata untuk mengitari hutan. Saat ini nuraniku mulai tidak berfungsi dengan baik. Aku tak peduli lagi jika nantinya akan berakhir sama seperti malam pertamaku kemarin. Aku mencegah laju lelaki tua tersebut dengan berbekal golok di tangan dan mengaum dengan bingarnya mencoba membuat kakek-kakek tadi merasa terpojokkan kemudian mereka tak akan bisa lagi berpikir panjang-panjang meratapi betapa ganasnya aku kemudian berlutut menyerahkan semua yang kuinginkan dengan segera. Mereka mengeluarkan pisau dan mengancamku untuk segera menjauh.

Aku sudah mengatakan segala hal, kali ini aku tidak peduli jika harus membunuh, aku ingin mereka menyerahkan segala yang mereka punya dan dongeng tentang sosok penjagal-- yang belum kuketahui akhir ceritanya-- akan diupahkan kepadaku jika aku berhasil membawa buah tangan saat pulang. Mereka mencoba menyerangku secara bersamaan namun kebuasanku-- sedang dalam puncaknya dan tak akan ada yang bisa menandingiku saat ini bahkan sosok idola yang katanya pernah menjagal seribu lebih mangsanya tanpa sekali pun gagal-- memanduku dengan sigap menghindar dari serangan cuma-cuma yang akhirnya membunuh sisa-sisa nurani dan para kakek tadi. Lagi-lagi tanpa ironi, ia kubasmi keji tanpa basa-basi seperti babi karena sekedip tak berhati-hati. Leher mereka menganga lebar bekas sabetan golok yang sedari pagi telah kuasah hingga begitu tajam. Malam ke-tujuhpuluhsatu.

Namaku Alam. Tak peduli siapa pun yang akan kumangsa apakah paruh baya atau pun masih gagah perkasa yang lewat. Tak peduli berapa saja yang mengitari tempatku mengintai mangsa. Semuanya adalah mangsa bagiku. Aku akan menjagal apa saja-- bahkan jika harus aku akan memerkosa dengan membunuh, memeras dengan membunuh, bergulat, bercinta, dan semua motif kejahatan yang hanya akan berujung pada pembunuhan akan aku lakukan dengan buas hati-- kemudian membawa hasil jarahanku pulang untuk segera mengetahui akhir dari dongeng tentang penjagal zaman silam-- yang sangat aku idolakan-- sebagai hadiah yang belum tuntas diceritakan kakek pada malam-malam sebelumnya karena menurutnya apa yang telah kudapatkan belum sama sekali sebanding untuk membayar tuntas dongeng yang kuidamkan. Malam ke-tujuhpuluhdua.

Udara terasa anyir bergilir kala pagi itu. Terpampang jelas pada leher-leher yang segar menganga. Angin yang mengitari desa seolah menggenggam berita yang tak lagi tabu, bersimbah merah semu. Memang sudah teramat biasa, saat kau bangunkan urat-urat membiru dari alas empuk tempat tidur yang hanya mengawang samar dan kian meredup saat kau tergugah dari mimpi, kemudian kau mendengar kabar tentang penjagalan, pemerkosaan dengan membunuh, pemerasan dengan membunuh, pergulatan, percintaan, dan semua motif kejahatan yang hanya akan berujung pada pembunuhan. Lalu apa yang telah terjadi tadi malam, atau dini hari tadi? Kau akan secara cepat kilat mengetahuinya dari cakap yang merambat ke cakap oleh bibir berurat milik ibu-ibu pedesaan. Penjagalan dengan perlawanan lagi. Aku lagi.


*Fiksi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar