Sabtu, 29 November 2014

Hujan 2


Deras mengubur jalanan
Daun ditekuk ranting ditekuk dahan
Berkaca pada genangan
Mengawang jauh akan kenangan

Surabaya, 2014

Hujan

Langkah para jejak seketika senyap
Bergilir dengan syair mengalir
Mengalir tanpa hilir

Para buyung meraih kepak yang tertunda
Ribuan sampan kertas mereka rebah sejenak
Melayang bebas tertimpa deras

Menjelajah setiap kecipak merdu
Mengibas sayap menyibak hiruk pikuk
Membanjiri setiap keriput dahan

Sedang sayapku masih entah
Kuawali pada secicip cangkir arabica
Kupu-kupu berwarna menyebar lewat kepulan

Mahatahu tahu kita lelah
Mahakuasa kuasa mengguyur letih
Mahamegah hujan beserta derasnya

Penjagal Rimba

Udara terasa anyir bergilir kala pagi itu. Terpampang jelas pada lidah-lidah yang membujur kaku. Angin yang mengitari desa seolah menggenggam berita yang tak lagi tabu, bersimbah merah semu. Memang sudah teramat biasa, saat kau bangunkan urat-urat membiru dari alas empuk tempat tidur yang hanya mengawang samar dan kian meredup saat kau tergugah dari mimpi, kemudian kau mendengar kabar tentang penjagalan, pemerkosaan dengan membunuh, pemerasan dengan membunuh, pergulatan, percintaan, dan semua motif kejahatan yang hanya akan berujung pada pembunuhan. Lalu apa yang telah terjadi tadi malam, atau dini hari tadi? Kau akan secara cepat kilat mengetahuinya dari cakap yang merambat ke cakap oleh bibir berurat milik ibu-ibu pedesaan. Penjagalan dengan perlawanan lagi.

Di sini tak ada ironi, semua dibasmi keji tanpa basa-basi seperti babi jika sekedip saja tak berhati-hati. Setidaknya kau dapat menambah dua atau tiga pasang mata di kepala untuk berjaga-jaga dengan cara menjarah mata korbanmu, atau sepasang matamu yang akan dijarah terlebih dahulu dan kaulah yang akan berperan menjadi korban. Di sini tak ada kuasa atau kebijakan hukum, alam dan rimba yang sepenuhnya berkuasa atas segalanya. Tak ada batasan moral dan perilaku, semuanya bak hewan saja: lepas telanjang tanpa aturan yang mengikat rapat, haus kekuasaan membuat sempurna nafsu akan keserakahan, kejam: saling mangsa bahkan sanak atau saudara seatap. Mati dengan atau tanpa panca indera; tergantung di pohon melur tanpa kaki dan alasnya yang menjulur; menjadi hidangan dini hari bagi para nokturnal mematikan, atau apa pun yang sekiranya dapat menjadi cara yang tragis dan tak logis untuk mati dapat kau temui di sini. Tak ada pilihan untuk mati secara manusiawi. Namun alam yang berkuasa membuat segalanya berjalan secara sejajar dan seimbang, jika ada yang basmi-membasmi, maka ada juga yang beranak-pinak. Maka tak akan ada habisnya hal semacam itu terjadi di sini.

Perkenalkan namaku Alam, aku adalah salah satu pemuda yang disegani di sini. Aku sudah menjagal setidaknya berpuluh-puluh orang kemudian merampas harta mereka untuk hidup berhari-hari. Cobalah melawan, maka akan kubunuh tanpa segan. Aku ingat kala pertama kali aku menjagal. Malam tanpa bulan dan pekat menyelimuti permukaan hutan ranting dan dahan tampak menyeringai menampilkan keperkasaan alam. Aku sembunyi dibalik belukar tajam tak kupedulikan bagaimana ia menggores-gores bagian punggung yang sedang tanpa balut pakaian. Aku sedang mengintai mangsa pertamaku saat itu tak kupedulikan bagaimana ganasnya peristiwa kemarin tentang tetangga yang setengah bagian tubuhnya habis disantap binatantg buas tepat di sini karena aku sangat yakin akulah yang terganas dan mereka tak ada apa-apanya dibandingkan denganku. Instingku lebih tajam tidak seperti otak tolol mereka yang tidak acuh akan strategi perburuan. Memang harus begini kata kakekku. Kau harus merasa terganas melebihi apapun di sekelilingmu atau mereka akan menghabisimu terlebih dahulu sebelum dirimu. Alam menyukai dan tentu akan sangat mendukung mereka yang terbuas dan paling beringas. Maka tanpa sedikit pun ada keinginan untuk kembali pulang dengan tangan kosong, aku menggertak diriku supaya naluri kebinatanganku yang buas tergugah dan meraung; mengaum sekencang mengkin. Ia mulai datang.

Lelaki tua paruh baya mengenakan kemeja berjalan pelan menatap samudera langit yang sedang kosong seperti mengharapkan sinar rembulan-- yang bisa ia gunakan untuk berlindung dariku dan mataku tertuju tepat di kilau keemasan yang remang samar tampak pada pergelangan tangan dan leher si mangsa. Sejenak aku membayangkan bisa meraihnya dan membawanya pulang kemudian kakek akan menceritakan dongeng penjagal zaman silam-- yang sangat aku idolakan-- sebagai hadiah. Aku melemaskan otot-otot perkasa yang kumiliki sebelum menyeringai tajam dan menertawakan dalam hati betapa bodohnya si mangsa yang sebentar lagi akan kujarah karena berani-beraninya sendiri mengitari hutan tanpa ada pengawalan juga tanpa dua atau tiga pasang mata tambahan di kepala untuk berjaga-jaga. Ia saat ini di depanku, membuat mataku berbinar membayangkan malam ini segala hal akan berjalan mudah dan sesuai harapan kemudian akan segera berlalu. Aku mencegah laju lelaki tua tersebut dengan berbekal golok di tangan dan mengaum dengan bingarnya mencoba membuat kakek tadi merasa terpojokkan kemudian ia tak akan bisa lagi berpikir panjang-panjang meratapi betapa ganasnya aku kemudian berlutut menyerahkan semua yang kuinginkan dengan segera. Pada dasarnya aku tak pernah membayangkan tentang pembunuhan karena saat itu nuraniku masih berfungsi dengan baik. Ia mengeluarkan pisau dan mengancamku untuk segera menjauh. 

Aku sudah mengatakan segala hal, aku tidak ingin membunuh, aku hanya ingin ia menyerahkan segala yang ia punya dan dongeng tentang sosok penjagal akan diupahkan kepadaku jika aku berhasil membawa buah tangan saat pulang. Ia mencoba menyerangku namun kebuasanku-- sedang dalam puncaknya dan tak akan ada yang bisa menandingiku saat ini bahkan sosok idola yang katanya pernah menjagal seribu lebih mangsanya tanpa sekali pun gagal-- memanduku dengan sigap menghindar dari serangan cuma-cuma yang akhirnya membunuh sebagian nurani dan kakek tadi. Tanpa ironi, ia kubasmi keji tanpa basa-basi seperti babi karena sekedip tak berhati-hati. Ini pertama kalinya aku melenyapkan nyawa seseorang. Lehernya menganga bekas sabetan golok yang sedari pagi telah kuasah hingga begitu tajam. Aku gagal mendapatkannya tanpa harus membunuh. Aku akui aku gagal pada pertama kali aku menjagal. Malam ke-dua.

Kembali lelaki tua paruh baya mengenakan kemeja berjalan pelan menatap samudera langit yang sedang kosong seperti mengharapkan sinar rembulan-- yang bisa ia gunakan untuk berlindung dariku dan bayanganku tertuju tepat pada  bongkahan-bongkahan besar pasti terdapat pada gerobak yang ia bawa bersama tiga kawannya. Memang ia tak sendiri namun apalah yang bisa menandingi kebuasanku malam ini. Sejenak aku membayangkan bisa meraihnya dan membawanya pulang kemudian kakek akan menceritakan dongeng penjagal zaman silam-- yang sangat aku idolakan-- sebagai hadiah yang belum tuntas diceritakan kakek pada malam pertama karena menurutnya apa yang telah kudapatkan tak sebanding untuk membayar tuntas dongeng yang kuidamkan. Aku melemaskan otot-otot perkasa yang kumiliki sebelum menyeringai tajam dan menertawakan kebodohan yang mereka anggap apa yang sedang mereka lakukan sudah cukup untuk menghadang buasnya aku dengan memiliki empat pasang mata untuk mengitari hutan. Saat ini nuraniku mulai tidak berfungsi dengan baik. Aku tak peduli lagi jika nantinya akan berakhir sama seperti malam pertamaku kemarin. Aku mencegah laju lelaki tua tersebut dengan berbekal golok di tangan dan mengaum dengan bingarnya mencoba membuat kakek-kakek tadi merasa terpojokkan kemudian mereka tak akan bisa lagi berpikir panjang-panjang meratapi betapa ganasnya aku kemudian berlutut menyerahkan semua yang kuinginkan dengan segera. Mereka mengeluarkan pisau dan mengancamku untuk segera menjauh.

Aku sudah mengatakan segala hal, kali ini aku tidak peduli jika harus membunuh, aku ingin mereka menyerahkan segala yang mereka punya dan dongeng tentang sosok penjagal-- yang belum kuketahui akhir ceritanya-- akan diupahkan kepadaku jika aku berhasil membawa buah tangan saat pulang. Mereka mencoba menyerangku secara bersamaan namun kebuasanku-- sedang dalam puncaknya dan tak akan ada yang bisa menandingiku saat ini bahkan sosok idola yang katanya pernah menjagal seribu lebih mangsanya tanpa sekali pun gagal-- memanduku dengan sigap menghindar dari serangan cuma-cuma yang akhirnya membunuh sisa-sisa nurani dan para kakek tadi. Lagi-lagi tanpa ironi, ia kubasmi keji tanpa basa-basi seperti babi karena sekedip tak berhati-hati. Leher mereka menganga lebar bekas sabetan golok yang sedari pagi telah kuasah hingga begitu tajam. Malam ke-tujuhpuluhsatu.

Namaku Alam. Tak peduli siapa pun yang akan kumangsa apakah paruh baya atau pun masih gagah perkasa yang lewat. Tak peduli berapa saja yang mengitari tempatku mengintai mangsa. Semuanya adalah mangsa bagiku. Aku akan menjagal apa saja-- bahkan jika harus aku akan memerkosa dengan membunuh, memeras dengan membunuh, bergulat, bercinta, dan semua motif kejahatan yang hanya akan berujung pada pembunuhan akan aku lakukan dengan buas hati-- kemudian membawa hasil jarahanku pulang untuk segera mengetahui akhir dari dongeng tentang penjagal zaman silam-- yang sangat aku idolakan-- sebagai hadiah yang belum tuntas diceritakan kakek pada malam-malam sebelumnya karena menurutnya apa yang telah kudapatkan belum sama sekali sebanding untuk membayar tuntas dongeng yang kuidamkan. Malam ke-tujuhpuluhdua.

Udara terasa anyir bergilir kala pagi itu. Terpampang jelas pada leher-leher yang segar menganga. Angin yang mengitari desa seolah menggenggam berita yang tak lagi tabu, bersimbah merah semu. Memang sudah teramat biasa, saat kau bangunkan urat-urat membiru dari alas empuk tempat tidur yang hanya mengawang samar dan kian meredup saat kau tergugah dari mimpi, kemudian kau mendengar kabar tentang penjagalan, pemerkosaan dengan membunuh, pemerasan dengan membunuh, pergulatan, percintaan, dan semua motif kejahatan yang hanya akan berujung pada pembunuhan. Lalu apa yang telah terjadi tadi malam, atau dini hari tadi? Kau akan secara cepat kilat mengetahuinya dari cakap yang merambat ke cakap oleh bibir berurat milik ibu-ibu pedesaan. Penjagalan dengan perlawanan lagi. Aku lagi.


*Fiksi

Jumat, 21 November 2014

Kantuk

Sememikat ini kau pagi
Sesuatu di balik jendela berbingkai
Peluk kucumbu cahaya menguningpadi

Adakah kutulis janji
Menyimpan nafas pagi dalam laci
Lagi kemudian esok pagi

Walau punggung mentari
Tak terjamah melalui jemari
Biarlah pagi tetap menggoda

O aku mulai mengingatnya
Ia kugeletakkan kemana
Di sanakah di sana?

Kuteliti cecer kotoran burung pada serambi
Malah sisa kelu cinta semalam tersaji
Selembar permadani

Sayang, jawablah
Di mana mata dengan menggurat merah?
Apakah di bibir kembang merekah?

Biar kupelihara bisu
Beri saja aku bibir manismu
Biar Tuhan yang Mahatahu

Kamis, 20 November 2014

Ocehan Angka


"Jangan beritahu aku ada disini..." Kau tahu aku sedang bersembunyi atau tepatnya berusaha menyembunyikan diri, mereka yang gila berjubah keemasan sedang mencariku, menjadikanku sebuah arti surgawi yang ujungnya aku menjadi tujuan hidup. Kau tahu aku sedang berlari, mereka yang bermahkota sedang mengejarku, menjadikanku sebagai sosok yang dapat membuat rasa lelah mengembara setelah beribu keringat dan dosa gugur saat melakoni sebuah pengembaraan besar-besaran yang berisi cerita peperangan ataupun dongeng ironi seperti tentang tumpah berjuta darah juga perasingan bagi yang kalah, yaitu perburuan tentangku. Benar saja jika segala cara mereka anggap tak akan menuai siksa dari yang Mahaasih atau mungkin mereka tahu apa sesungguhnya arti itu sebuah dosa namun enggan meyakininya dengan benar yakin. 

"Jangan beritahu aku ada disini..." Kau tahu ku tak sanggup lagi berlari, terbang dan berenang seperti figur dewa yang sering dibualkan keberadaannya melalui layar kaca atau mungkin juga melalui kertas sutera bergambar seperti aku. Kau tahu ku telah lelah diombang-ambing kesana-kesini kemudian kembali lagi tercabik-cabik bagai bulu merpati terjarah badai yang sedari dulu terlipat rapat-rapat dalam pergantian zaman ke zaman juga  musim ke musim. "Pukul aku sekencang mungkin saat mereka mulai menebar hawa nafsu di setiap penjuru cakrawala-- meluas dan merambat hingga ke sudut kosong pun semesta lari darinya-- hitam meranggas ke dinding-dinding memenuhi ruangan semesta kemudian menyesakkan lapisan kulit aorta dan menjadikannya penyakit berwabah berbahaya yang waktu penularannya hanya sekian kedip mata saja-- maka

Bunuh saja aku ketika mereka mulai mendekat..." Kau tahu ku tak sejernih penglihatanku di waktu aku baru dihadirkan ke dunia melalui mesin percetakan dahulu dan ya, itu sudah sangat dahulu. Lihatlah penglihatanku tak setajam pedangku saat mereka masih duduk di bangku sekolah dasar dan menjadikanku jalan jembatan untuk penggayuh mimpi suci mereka kala itu memang begitu sucilah mereka benar-benar penuh imaji yang saat ini telah mereka lupakan dan kubur dalam-dalam selubuk lautan. Dahulu mereka memiliki sayap kecil di dua sisi punggungnya yaitu haq dan batil membuatku berharap banyak saat kelak mereka tumbuh dewasa dengan meraih pucuk kemenangan dengan menumpas kebatilan yang membenalu di balik punggung sebelah kiri mereka atau malah akan lebih membuatku bahagia lagi jika keduanya akan mekar bersamaan hingga bayangan mereka menaungi lautan dan terbang menggapai angan-angan berjalan seimbang tanpa sedikit pun pincang karena ku yakin sang Khaliq tak mungkin menciptakan kebatilan tanpa sebuah tujuan. Pedangku maupun penglihatanku tak lagi bernilai kini.

Kau tahu mereka yang sekarang lebih menyukai aroma anyir yang mencekik selaput hidung mancung meski berbulu lebat sekalipun. Mereka lebih suka melihat seember darah tumpah dari tubuhku yang berwarna merah bersinar di mata rimbun hijau daun pisang mereka. Mereka tak menghendaki tubuh sekawanku yang ringkih untuk bersanding bersamaku yang mereka paksa untuk selalu perkasa selayaknya raksasa iblis bertubuh merah merata bergambar nominal angka sebanyak-banyaknya. Akulah angka, lihatlah merah yang mereka ciptakan sendiri demi mendapatkanku yang lebih merah dan terlebih-lebih merah lagi hingga semuanya merah dan hanya ada merah. Aku iri melihat kawan-kawanku di sana, dihargai meski berwarna putih mengkilap logam atau hijau rimbun samudera. Namun mereka yang di sana ada di kalangan yang berbeda sejak kasta itu ada. Mustahil aku bisa mereka dapat meski berjuang mereka hingga tulang melunak dan pikiran kerontang terperas habis melalui keringat. Kau tahu ada dinding besi kokoh di antara kami. Kami tak dapat lagi serupa pelangi di penghujung badai atau setandan mendung di derasnya terik matahari.

Entah sampai kapan aku harus bersembunyi sampai kapan merintih dalam doa dan dzikir agar semua orang bisa menikmatiku dan tak lagi menjadikanku alasan untuk sebuah pergulatan antar kasta. Akulah angka yang mereka cari hingga kini dan entah sampai kapan. Aku tak bisa memohon kepada-Nya untuk mencabut nyawaku karena aku memang sudah  lama mati dan hanya diperumpamakan hidup saja oleh pemikiran gila mereka tentangku. Aku ingin lenyap bersamaku yang lain.

"Kawan, lenyaplah bersamaku..."

Peperangan

Bebatuan bata saling tumpang
Tiada jendela berbingkai menyela tengah badan
Hanya kaku potret kehidupan tanpa balut selimut
Telanjang

Cinta maupun amarah tersuratkan
Remang si neon meringkih di pundak
Bebatuan bata menyeka buih asin
Bulir kecut setiap punggung yang bersandar
Menopang rekaman jejak tapak bertaburan
Terisak

Tinggal rindu mencabik kulit jantung
Banyak kata tersirat
"Dulu aku menebar hangat pada tuan dan nini. 
Menjalar hingga meradang patah kini. 
Saling dendam, jadikanku tak berarti lagi."

Memeriuk api itu kian menjadi pundi kelam
Tinggal rindu mencabik kulit jantung

Sekarat sudah
Tinggal jerit sepatah
"Hentikanlah!"



Rabu, 19 November 2014

Takdir Rembulan

Hawa rembulan memang memikat kala angin bersiur
Cahayanya gugur menerpa dedaunan melur
Berdesing-desing seperti badai yang mengguyur lebur
Tak seperti matahari yang pendarnya berangsur

Kiat-kiat para takabur yang pandai bertabir
Dan kufur yang menyelilit di sela-sela bibir
Menjerit kepada takdir yang mengalir:
"Aku sedang sekarat di tubir!"

Semula takdir tetap diam menggelontor
Cintanya hinggap pada pucuk awan bersama sekawan kondor
Menjawab teka-teki yang membising sembari berselonjor:
"Sayang, rembulan tak selebar daun kelor."


Surabaya, 19 November 2014

Sabtu, 08 November 2014

Just "Mezmerize" for this Fucking Days!


Kembali hati terbakar saat mengingat kekasih pernah manis manja dengan lelaki lain. Kembali gundah saat mengingat uang sewa kos harus segera kubayar. Kembali tangis haru saat mengingat suara ibu di ujung telepon, terlebih ketika beliau berucap, "Kuliah sing tenanan le, bayare larang. Ojo boros. Ojo lali sembahyang. Sing pinter yo le." Kuliah yang benar ya nak, bayarnya mahal. Jangan boros. Jangan lupa ibadah. Jadi anak yang pintar ya nak-- Duh bu, maafkan anakmu, semua arahan dan nasehatmu belum sama sekali bisa aku perbuat. Apalagi mengingat kelakuanku yang akhir-akhir ini bisa dikata amburadul. Berantakan. Sering bolos kuliah; boros di saat kebutuhan meledak; jarang beribadah; sering foya dan lain-lain. Maafkan anakmu bu, segala hal di hari-hari belakangan ini memang sangat menyulitkan. Seolah semuanya berjalan tanpa ada harapan. Aku kesulitan; kelabakan. Namun tak sebenarnya seperti itu. Ada hal yang perlu kuceritakan. Bukan tentang acara sinetron Indonesia yang semakin hari semakin hilang asal-usulnya. Tidak jelas. Ini tentang hiburan yang menurut saya benar-benar menghibur. Lewat lagu dari pemusik favorit. Meski dalam kesulitan, tetap kucoba ucap persetan dan membuang jauh kepenatan dengan sekadar mendengarkan bahkan ikut melafalkan. Secara suka-suka, seenak jidat. Tolong hapus ingatan kalian tentang intermezzo tidak penting di atas. Mari perhatikan hal-hal menyenangkan yang biasa disebut kebiasaan. Memang benar akhir-akhir ini hari-hari terasa sulit dijalani, tak segampang ocehan motivator penuh pencitraan, tetapi selalu ada solusi yang entah darimana datangnya. Menurutku itu akan datang saat kau benar-benar dalam keadaan buntu, putus asa, pasrah dan kau memilih untuk berhenti berpikir kembali tentang masalah yang sedang kau hadapi. Kemudian saat solusi itu datang secara tiba-tiba kau akan mengolok diri sendiri dengan kalimat: "Mengapa daritadi tidak begini atau begitu saja?", "Mengapa baru terpikirkan?" dan sebagainya. Hm, lagi-lagi bahasan yang tidak penting. Ngomong-ngomong soal solusi, ia akan datang saat kau berpikir santai, saat pikiranmu lepas tanpa paksaan untuk berpikir. Kembali ke topik kebiasaan. Kebiasaan yang menyenangkan akan membuat pikiran nyaman, santai bak sedang di pantai. Lalu apa kebiasaanku yang sekiranya dapat membuat pikiranku kembali santai dan yang kemudian dapat menghadirkan solusi saat ku dikepung masalah?-- Kalau hari-hari belakangan ini sih hanya kegaduhan yang dibuat oleh System of a Down. Grup band yang mengidentitaskan diri sebagai band bertajuk alternative metal itu memang gaduh dan riuh. Saya ingatkan, lagu-lagu dari mereka tidak ada yang enak didengar. Mereka selalu liar dan terkesan tanpa ampun saat membawakan lagu. Suara yang mistis dari front-man Serj Tankian dan tambahan vokal dari sang gitaris Daron Malakian yang membuat lagu mereka terdengar meriah. Tambah ngeri ketika sang bassis Shavo Odadjian menjadi backing vokal dengan nada suara yang tinggi. kemudian tabuhan drum yang menggebu oleh John Dolmayan membuat lengkap suasana mirip seperti penghancuran. Karena lirik-lirik mereka yang kental dengan ide, pandangan-pandangan tentang masalah-masalah sosial-politik, band keras ini pernah diartikelkan Kompas sebagai band anti kekerasan. Album mereka yang saat ini sedang kugilai adalah Mezmerize (2005). Album nomor urut dua dari belakang setelah Hypnotize (2005) ini pernah mendapat gelar Grammy Award pada tahun 2006 untuk penampilan hard rock terbaik. Lagu-lagu di dalamnya pun menurutku sangat menarik. Seperti Violent Pornography yang isinya mengarah pada perlawanan terhadap televisi. Terutama dalam hal korporasi besar atau komersialisme. Mungkin juga bentuk pemberontakan terhadap hal-hal mengenai kekerasan seksual pada tayangan televisi. Pengertian itu bisa kau temukan pada lirik "It's the violent pornography. The kind of shit you get on your TV" pada lagu ini. Melihat ironisnya tayangan televisi di Indonesia, andai saja di Indonesia ada grup band yang lagunya berisi tentang kritikan terhadap tayangan televisi, tentu akan sangat menarik dan menyeret penghargaan dari publiik. Kemudian lagu penggugah kekacauan yang lain yaitu B.Y.O.B (Bring Your Own Bombs). Lagu yang sudah dapat dikata sangat mainstream bagi kalangan pecinta musik rock. Juga lagu penenang yaitu Lost in Hollywood. Mengapa lagu penenang? Ya karena lagu ini yang menurutku paling tenang dan memang menenangkan setelah mendengar deretan lagu yang menegangkan. Lost in Hollywood dapat menjadi refleksi yang dingin setelah imajinasi terkoyak panas oleh lagu-lagu keras di album Mezmerize lainnya. Mezmerize memang tiada duanya, setidaknya untuk saat ini. Dan well, pada kenyataannya aku masih bisa menghadapi bahkan melewati masalah apapun meski terasa berat dan terasa penuh keputus asaan. Karena solusi siap didapat saat pikiran tenang, dan pikiran tenang siap didapat saat mendengar Mezmerize. Yeah!!!

Rabu, 05 November 2014

Daun 2

Tulang punggung bagi para partikel lainnya
Kutukan yang tak dapat kusangkal
Maka lebih terkutuklah aku
Jika aku hanya berbaring pada penyerahan

Tak peduli kau yang manis
Aku terguyur debu dan arang
Tersabit angin malam; tertusuk terik
Tak peduli apapun kau ganggu

Aku harus selalu terjaga, setiap detik
Hap-hap! Kusergap satu persatu butiran cahaya yang lewat
Kuolah, kemudian kupersembahkan
Agar ia dan kami tetap hidup


*Lanjutan puisi berjudul Daun