Selasa, 14 April 2015

Kopi Dalam Peraduan

Cecap pertama
Kepulan menari di hadapan
Bendansa bersama sinar lampu bohlam
Nikmat mereguk remang
Sekat demi sekat meleleh
Mencair terseret arus
Menyebar di kerongkongan
Gelisah digoyah hingga lapuk
Berguguran hingga menghumus
Dada pun sedikit lapang
Tinggal rindu yang sesak risau
Aduhai, halaman tempat lahir
Aku akan segera kembali
Cecap demi cecap terlewat
Beriring gelak tawa jantan
Cecap terakhir
Penuh kemenangan
Hari esok tiada sabar menanti
Mari pasangkan ombak
Layar kembali mengembang
Mari kembali beradu, karang

Kisah Para Buyung

Suatu siang satuan buyung mencerna terik
Halaman rumpun tempat bersimpuh
Beratap rindang pohon asam yang gagah
Bermain melawan arah detik jarum jam; mempersetankan waktu
Kepulan warna-warni melayang lewat keringat yang terseduh
Satuan buyung beraroma mentari
“Jangan kauambil mentari” pinta mereka pada jingga
Langit sore tetap angkuh tanpa suara
Mereka melemparinya dengan kerikil
Sebab sayap yang masih kerdil
Aduhai, senja tinggal sekian kedip mata
Dedaunan mulai menggigil
Para buyung berlarian pulang meninggalkan cerita
Berpangku badan pada kebesaran nurani bunda, lantas mengadu
Begitu esok dan lusa menjadi kian lalu
Relakan masa indah penuh imaji tersapu oleh waktu tanpa jeda
Buyung kini telah dewasa
Mengembara jauh keluar sarang
Tak perlu lagi melempari langit dengan kerikil
Sebab sayapnya kian menjelma
Tinggal rindu tempat bermain dan pohon raksasa
Teduhnya mengawang dalam ingatan
Tinggal menerka daun-daun kecil yang gerimis
Menyeka air mata di tanah peraduan
Menyapa pohon dalam hamparan keterasingan
Jauh sirna; pohon kini tergerus tamak
Tanpa menyisakan nyawa