Jumat, 28 Maret 2014

Rindu Basah


Segala yang pernah kulakukan, segala yang pernah kuperjuangkan, segala yang pernah kukorbankan. Semata-mata hanya untuk kau yang kuindahkan, kukagumkan. Kau yang terindah. Kau mahir dalam membuatku merindu, kau hebat dalam membuatku mencinta. Kau. Kaulah yang benar kumaksud. Sedangkan aku? Tentu kau mengenalku, aku yakin itu. Tentu kau tahu aku mencintaimu dengan amat sangat. Aku mencintaimu dengan segala keterbatasanku yang sebenarnya tak seluas cintaku yang tak terbatas untukmu. Terlepas dari kalimat bertele-tele. Sungguhlah, aku mencintaimu.

Bunga, kekasihku. Sejatinya dulu aku malu saat memiliki harapan akan memilikimu, aku iba terhadap rapuhnya diriku. Aku ringkih. Aku. Melihatmu saja terkadang aku tak bernyali, ciut. Namun keadaan malah berbeda, tak seperti yang kubayangkan. Yang kuharapkan malah dikabulkan. Kini aku milikmu, kini kau milikku. Kini kita saling memiliki. Kita. Sering kukatakan serba-serbi kemampuanku, sering kuceritakan padamu apa-apa saja yang dapat kulakukan untukmu. Setia, menyemangatimu dari belakang, melindungimu dari depan, menggandengmu dari samping. Menjagamu. Sekali lagi, aku mencintaimu.

Tahukah kau? Kini aku merindukanmu.

Aku merindukanmu. Rindu ini. Ini bukan soal jarak dan waktu. Aku merindukanmu. Tak peduli setelah kapan sehabis kita bertemu. Sebentar. Aku tak peduli. Seberapa dekatnya kau saat ini. Aku hanya buta jika tak sedang bersamamu. Aku tak peduli. Sekedip, Beberapa menit. Aku tak peduli. Sejangkah, beberapa meter. Aku tak peduli. Tetap saja aku merindukanmu.

Bunga, terkasih. Aku tak mampu menuliskan apa-apa tentang persoalan rindu-merindu. Aku tak begitu mengerti tentang abjad apa: vokal konsonan apa yang harus kulukiskan saat kumerindu. Aku takut kau salah paham jika semua yang telah tertulis disini nanti adalah gombal atau hanya sekadar rayuan. Bukan. Bukan itu yang kumaksud. Yang kumaksud adalah, jika sekarang ini aku benar-benar merindukanmu.

Teruslah baca, Bunga.

Biarlah bumi tak lama lagi mati, biarlah langit tak betah mencumbui rembulan lagi, biarlah pagi atau siang nanti mereka pergi. Biarlah. Biarkan aku tetap masturbasi dikamarku yang terlalu pengap ini. Meski begitu, tolong jangan berhenti membuatku merindu, sayang. Aku lebih memilih kehilangan segalaku daripada aku harus melepaskan begitu saja rasa rindu ini. Aku akui, pikiranku semakin liar saat merindukanmu. Semakin tak dapat kutahan penat. Pekat pun tak segera enyah. Hawa panas kuasai kamar. Penuh rindu. Penuh nafsu. Maka masturbasilah aku.

"Mas....... Mie instannya sudah jadi."

"Mas.......?" Teriak seseorang dari luar kamar.

Oh sial! Aku bingung gelagapan saat membenahi celanaku yang tengah melorot, kulorot. Aku memang memesan mie goreng beberapa menit tadi, karena aku sukar menunggu, maka kusuruh sang penjual untuk mengantarkannya ke kamarku.

"Iya mas, sebentar." jawabku dari dalam kamar. Kemudian kubuka pintu kamar.

"Uangnya nanti ya mas, tak bayar sekalian pas mengembalikan mangkuk."

"Oh, iya mas ndak apa-apa." ucapnya, lalu pergi.

Aku kembali menutup pintu kamarku, kemudian kembali kuhisap aroma lehermu, kucecap perlahan pipi kenyalmu, kujilat-jilat penuh nafsu sebagian dari wajahmu. Begitu panas. Kau menggoyang-goyangkan tubuhmu saat kucumbu. Mungkin kau juga merasakan kenikmatan luar biasa yang sama seperti aku.
Benar-benar kunikmati saat-saat seperti ini. Mencumbui, menikmati mie instan sebagai pelampiasan rinduku padamu. Walau mie instan jauh kalah banding denganmu.

Setelah menghabiskan semangkuk mie tadi, aku lelah, aku kenyang, aku puas. Aku serasa habis mencumbuimu, menghabisimu. Aku merebahkan tubuhku. Kini aku tak lagi memperdulikan penisku yang sudah tak lagi menegang. Aku melemaskan otot-otot kerinduanku. Kembali aku merindukanmu. Sesekali memanggil namamu. Sesekali menengok fotomu. Lukisan wajahmu. Indah. Bahkan aku tak yakin ada hal yang lebih indah dari bundar wajahmu. Belum sampai situ aku merindukanmu. Entah apa itu, seperti sosok perempuan didepan pintu. Remang-remang hingga tampak. Jelas. Itulah sosokmu, sembari tersenyum simpul kau menghampiriku perlahan. Berjalan. Aku mengucek-kucek mataku berkali-kali. Kau malah semakin nyata. Kau memanggil namaku,  kau berhasil meraih tanganku, kau seperti ingin mengajakku ke suatu tempat. Tentu aku tak peduli. Walau ini hampir tak masuk akal. Aku bangun dan mengikuti langkahmu. Kau mengajakku keluar kamar. Berjalan.

"Kita mau kemana, sayang?" tanyaku sembari tanganku masih kau genggam.

Kau diam, kau malah hanya sekadar tersenyum menanggapi kebodohanku.

"Kita mau kemana?" kembali ku bertanya.

Lagi-lagi kau malah hanya tersenyum. Sial! Aku hanya bisa terbisu menuruti kemauanmu. Aku tak mengerti apa tujuanmu. Aku tak lagi ingin bertanya. Kali ini, aku hanya bisa turut dan larut terhadapmu.

Kita berjalan sudah sangat jauh, melewati belantara, menaiki tebing, menuruni kaki bukit, menjelajahi semesta. Setelah beberapa hari kita berjalan. Kita tetap saja berjalan. Kau tetap saja berjalan menggandengku, menarikku. Lelah tak kuhiraukan. Aku sama sekali tak ingin makan atau minum. Hei! Aku tak ingin terlihat cengeng di depanmu, sayang. Entah aku akan kau ajak kemana, entah aku akan baik-baik saja atau tidak. Entahlah. Tiba-tiba kau menghentikan langkahmu.

"Kau lelah?" tanyamu dingin.

"Tidak kok, memang kita mau kemana to?" lagakku kebingungan.

Kau kembali tersenyum. Senyumanmu semakin membuatku luluh. Diam. Kau kembali tak menjawab pertanyaanku setelah ku tanya akan kemana. Kau kembali pada pandanganmu, dan berjalan. Berjalan. Kita berjalan sudah sangat jauh. Aku bahkan lupa, berapa hari, berapa minggu atau bahkan berapa bulan kita berjalan. Yang aku tahu, aku sangat bahagia. Aku sedang tak merasakan lagi pahitnya merindu. Ya, karena aku sedang berjalan. Sedang bersamamu. Kembali pagi, siang lagi, sore dan malam kita lewati dengan berjalan. Berjalan bergandengan. Aku bahagia. Meski mimikmu beku, kita jarang terlibat dalam sebuah pembicaraan hangat. Karena mungkin memang kau sedang asyik membisu. Tetap saja, aku bahagia. Maka semakin jauh kita berjalan, semakin bahagia pula aku. Terimakasih Bunga, aku benar-benar bahagia bisa berjalan sejauh ini bersamamu, menggandeng tanganmu. Bahkan aku tak yakin, ada seseorang diluar sana yang lebih bahagia dariku. Aku mencintaimu.

Selama kita berjalan. Di pinggiran sana banyak yang memandangi kita. Mencibir, menggerutu perlahan. Mencoba menggulingkan niat kita. Kau tak terlihat sama sekali menanggapinya. Kau tetap menggandeng tanganku. Berjalan menuju sebuah tempat yang tak kuketahui.

"Sebentar lagi sampai." ucapmu tanpa melihat ke arahku.

"Sampai dimana? Aku mau kamu ajak kemana sih sebenarnya?"

Kau tak menghiraukanku. Langkahmu semakin cepat sembari menggandengku. Semakin cepat. Berlari. Kau berlari menarikku. Aku pun berlari mengikutimu. Semakin cepat dan "Pyaaaarr!!" Kita seperti menembus sebuah dinding kaca tebal. Kau menghentikan langkahmu. Aku terengah-engah. Kau melepaskan tanganmu dari genggamanku.

"Kita sudah sampai." katamu sambil tersenyum.

Aku terkejut. Tempat ini sepertinya pernah aku kunjungi pada saat bermimpi. Ya, tak salah lagi. Ini tempat yang aku impi-impikan pada saat bermimpi. Aku pernah kesini sebelumnya bersamamu. Namun itu hanya mimpi. Aku menelan ludah berkali-kali sambil mengusap keringat. Aku tak percaya, aku bisa benar-benar kesini. Tempat surgawi, samudera langit yang warna-warni, pepohonan terlihat rapi menyejukkan mata, hewan-hewan berbulu warna-warni yang hinggap menghiasi pepohonan, juga pendar-pendar cahaya berkilauan bak berlian terlihat tenteram mengalir seperti sebuah sungai. Sayu. Sementara aku masih terjebak dalam lamunan takjub, kau menghampiriku. Kembali kau gandeng tanganku. Tidak. Berbeda dengan yang tadi, kali ini kedua tanganku yang kau raih. Kau mengecup kedua tanganku. Aku membalas mengecup keningmu. Aku memelukmu. Dan kembali ku berpikiran mesum. Anehnya, kau tak mencegahku mencumbuimu, kau malah membiarkanku, sesekali membalasku dengan cumbuanmu. Segalanya semakin terlihat sempurna. Lengkap dengan hawa nafsu yang mengiringi. Sempurna. Terimakasih Bunga, aku mencintaimu. Sungguh.

Entah apa yang membuat semua kacau. Kau perlahan meredup, kretip-kretip hingga menghilang. Aku membuka mataku perlahan. Sial! Lagi-lagi hanya mimpi basah. Celanaku basah. Pelupuk mata basah. Rindu ini pun basah. Semua basah. Sial!

Aku melamun menangisi kejadian-kejadian indah tadi, kulihat kembali kamarku yang begitu berantakan, banyak puntung rokok bertebaran di setiap sudut kamar, lengkap dengan lalat-lalat yang mengerubungi mangkuk kotor bekas ku makan mie instan siang tadi. Oh, ternyata aku ketiduran hingga menjelang 'isya. Setelah mandi dan berganti pakaian, aku mengembalikan mangkuk yang seharusnya aku kembalikan setelah aku makan tadi.

Sial! Kini kembali ku merindukanmu, Bunga. Dan aku tak yakin aku bisa lari darinya. Merindukanmu, memang selalu seindah dan serumit ini. Aku mencintaimu. Terimakasih telah membuatku merindu. Terimakasih telah membuatku basah.


Surabaya, 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar