Selasa, 18 Februari 2014

Pertarungan Dewa



Kalaupun mereka ada, pastilah mereka bukan Tuhan.
Jika mereka memang memiliki kekuatan nan dahsyat, tetaplah itu pemberian dari Tuhan.

                                                 ***

Musim kemarau memang selalu membingungkan. Panas terik ketika siang terjelang, malam yang dinginnya melebihi musim penghujan; Membuat kami penyakitan. Memuakkan! Persis ketika malam itu, kala malam pertama musim kemarau. Gelegar petir yang tak di ketahui persis apa maksudnya datang, menyapa begitu saja dengan beringasnya, liar seperti raja rimba yang tengah kelaparan. Angin yang menyibak - nyibak rerimbunan liar, membuat atap sebuah rumah tua mengkap - mengkap, melambai - lambai seperti mengharapkan pertolongan bagi siapa saja yang menatap. Apa maksud semua ini? Aku tak tahu jika musim kemarau masih bersedia menyimpan sisa - sisa hujan dari musim sebelumnya. Aku semakin mereka - reka arah, menikmati setiap kegelisahan yang bernaung. Raut kasat wajahku beku, lengkap bersama debu - debu dingin yang menempel begitu saja. Suasana kian menjadi - jadi kejamnya. Hujan mulai menerobos, menusuk tajam ke bumi, bumi terlihat menggigil kala itu. Hujan kemarau memang sangatlah berbeda, dingin yang tak terhindarkan, petir yang benar - benar "Janchuk'an." Lalu? Siapa sebenarnya sang dewa yang menghantamkan petirnya, meniupkan anginnya, dan menyemprotkan hujannya? Zeus? Amun? Atau Yupiter? Atau bukan mereka bertiga? Lha, mereka juga itu siapa? Ah, ada - ada saja. Aku saja tak yakin mereka itu ada.

Oh sial! Aku melupakan kekasihku, apa - apaan ini? Aku malah asyik melamuni para dewa yang tak jelas asal - usulnya, tak jelas apa maksud dan masalah mereka. Masa bodoh, aku menengok ponselku yang sedari tadi tergeletak di atas meja. Terbaca pada layar ponsel yang sedang terkunci, "1 pesan baru" siapa lagi, darimana lagi kalau bukan dari kekasihku, yang kabarnya sangat takut mendengar dentuman petir. Aku membuka pesan itu. Dan...

"Dimana kamu saat aku ketakutan seperti ini? Dimana kamu saat aku sakit seperti ini? Dimana kamu saat aku sangat membutuhkanmu seperti sekarang ini, kasih?"

Aku diam, aku kedip - kedipkan kedua mataku berulang kali kemudian menguceknya. Oh, syukurlah, yang tadi itu hanya tafsir mesumku saja.
Yang benar begini:

"Sayang, badanku seperti sakit, aku kedinginan, hidungku pun tersumbat, aku sulit bernafas. Aku takut.. Petirnya keras sekali, aku tak bisa tidur."

Aku bingung, apa yang harus aku katakan (balas: read) kepadanya. Aku memang tak berguna. Ah, balas seadanya saja, toh aku memang bukan makhluk bersayap seperti malaikat atau pun bidadari, aku lambat dan penuh pikiran mesum. Pikirku.

"Sayang, kamu tak boleh sakit, kamu selimutan yang rapat ya? Hujan kemarau memang tak masuk akal dinginnya, mereka penuh penyakit." Balasku.

Hujan kemarau memang penuh tipu daya surgawi bagi penggila hujan sepertiku. Lihat saja, gemerlap indah cahaya kilat yang lalu - lalang bertebaran di puncak langit yang sedang terkuasai oleh mendung.
Setelah ku balas, aku kembali menggeletakkan ponselku di atas meja tadi, meja berisi mangkuk kotor bekas mie instan yang sudah ku makan sekitar dua jam lalu, juga cangkir berisi kopi yang tinggal separuh, sudah dingin pula. Benar, waktu itu aku memang sedang asyik terjebak di warung kopi pinggir jalan raya bersama para penikmat kopi lainnya. Aku kembali melanjutkan lamunanku yang sempat tertunda tadi. Masih tetap bergemerlap, seperti atraksi para dewa. Mungkin dewa petir, dewa angin, dan dewa hujan sedang unjuk kebolehan. Oh, atau mungkin mereka sedang mengadu kekuatan. Sehingga dahsyatnya sampai membahana seperti saat ini, petir yang meledak - ledak, dan angin yang kian membadai.

"Bob? Gak mulih ta? Uadem gini, Cuk!" Ajak temanku bernama Zain sambil mendekap tubuh dengan kedua tangannya.
"Wah, pasti uenak iki di gae turu sampek dzuhur. Ha - ha - ha." Tambahnya.

Aku hanya tersenyum kecil sembari menyeruput sisa kopiku tadi sebelum benar - benar tak tersisa kemudian.

"Udan deres ngene lho." Jawabku.

"Aku bawa jas ujan, ayo!"

"Delok'en ta, geludhuk'e buanter. Bahaya! Wes ta lah... Mengko dhisik!"

"Yowis karepmu."

Sementara ia kembali asyik membaca koran, aku pun kembali asyik dengan lamunanku. Kian lama, aku kian terjebak dengan pikiran - pikiran yang membingungkan. Aku bingung, apakah ini takjub atau sebaliknya.
Oh, tidak! Kekasihku! Kali ini "2 pesan baru". Sial! Aku merasa sangat bodoh, berat sekali saat akan membuka pesan itu. Pikiranku pasrah, pasti ia sangat marah denganku. Aku baca pesan pertama (urutan teratas di daftar kotak masuk).

"Sayang? Kamu ngapain sih? Sibuk ya? Pasti lagi ngopi ya? Ya sudah, aku memang tak senikmat kopimu itu. Maaf sudah mengganggu. Selamat malam." Aku lemas.

Pesan kedua (urutan nomor dua setelah pesan pertama. Logikanya, pesan kedua lah yang ku terima terlebih dahulu)

"Iya sayang, ini aku sudah selimutan rapat - rapat, sudah pakai sarung tangan juga kaos kaki. Kamu jangan terlalu khawatir ya? Aku tak apa, kamu jaga diri baik - baik ya? Kamu juga jangan sampai sakit, di luar sana dingin sekali kan?"

Aku bukan lagi merasa berdosa, aku bahkan merasa lebih dari itu. Ah, entahlah! Aku bingung apakah harus membalasnya atau tidak, sedangkan aku yakin ia belum sepenuhnya terlelap dan mengharapkan kata maaf dariku. Sedangkan di sisi lain, aku juga masih terisak menangisi hujanku yang terlantar dan menjadi buas di musim kemarau seperti ini. Aku bingung..... Hah! Ku beranikan dan ku paksakan diriku untuk membalas pesan singkat dari yang terkasih.

"Kasih.... Tolong maafkan aku, maafkan kebodohanku tadi. Aku benar - benar tidak tahu saat ada pesan darimu. Maaf."

Dasar Idiot! Tolong lupakan sejenak tentang hujan, tentang langit yang kini laknat dan memikat, juga tentang para dewa yang sedang berseteru. Kini aku harus benar - benar memfokuskan pandanganku terhadap ponselku. Aku harus sanggup berjanji untuk tidak sedikit pun luput dari ponselku. Aku harus benar - benar berada disitu, saat kekasihku membalas pesan singkatku. Apa mungkin? Ya di tunggu saja. ***
Entah pada kedipan mata yang ke berapa ratus, layar ponselku menyala. Aku sangat bernafsu dan segera membuka pesan dari kekasihku itu. Oh, Fuck! Ternyata bukan dari kekasihku, tetapi dari teman lelaki satu kelasku, namanya Antok. Aku membacanya dengan semangat yang kurang.

"Mas, barangnya nggak jadi di antar sekarang. Katanya yang jadi kurir sedang ada halangan."

"Lha terus sampai sini kapan mas?"

"InsyaAllah besok."

"Oalaah.. Ya sudah mas, nggak apa - apa."

Tolong jangan pikirkan barang apa yang sedang aku pesan, karena itu adalah barang terkutuk. Ya, tebak saja sendiri.
Masih kembali tak luput, aku terus memandangi layar ponselku, berharap ada kata maaf dari sosok yang di harapkan. Bedebah! SMS dari sosok tersebut tak kunjung datang.

"Mungkin ia tertidur, biar saja lah. Biarkan ia terhibur oleh alam fatamorgana di mimpinya." Batinku.

                                                      ***

Apa kabar hai sang hujan?
Aku tak menyangka kau berubah secepat ini
Mengapa kau bisa menjadi sebrutal ini?
Aku bisa saja menyukaimu lebih lama jika saja kau tak menyakitiku malam ini.
Lalu bagaimana dengan langit? Tentu saja tak kunjung padam, lebih berkobar malahan. Yang tadi hanya sekedar riuh, kini malah semakin ricuh. Sepertinya memang pertarungan antar dewa. Laksana perang antara dewa petir, dewa angin, dan dewa hujan beserta para pasukannya masing - masing.  

"Jedduuuuaaaarrrr!!!!!!!"
"Jancoook!" Teriak para penghuni warung sambil tutup kuping sehabis petir yang sebegitu dahsyatnya.

"Hua - ha - ha - ha...." Pak Hadi pemilik warung malah tertawa puas melihat kiprah reaksi para pengunjungnya.
"Geludhuk'e buanter gitu e pak, kaget aku. Asu!" Gumam seorang bapak di sampingku.
Sementara aku? Aku hanya mengreyitkan dahi dan tetap terpaku pada ponselku. Aku lebih khawatir pada kekasihku setelah petir jahannam tadi. Aku coba mengetik pesan untuk ku kirimkan kepadanya.

"Kasih, maafkan aku. Aku tak bermaksud mengabaikanmu, aku........" Belum usai mengetik, aku mendapatkan 1 pesan baru. Langsung saja ku buka itu. Ternyata darinya, dari sosok yang ku harapkan tadi.

"Sayang... Aku takut, aku terbangun karena suara petir tadi. Aku benar - benar takut."

"Ya sudah, biar aku menemanimu sampai kau terlelap kembali ya sayang? Oh iya, maafkan aku atas kejadian yang tadi. Aku tak bermaksud cuek begitu, aku memang sedang lalai tadi. Maaf ya?"

"Tak apa kok, makasih ya sudah mau menemani."

Kami terus ber - SMSan ria hingga akhirnya ia kembali terlelap.
Syukurlah, aku termaafkan.

Malam telah berada pada puncaknya, warung kopi tak lagi ramai, semuanya tampak sangat semrawut. Meski begitu, aku lega. Kekasihku memaafkanku. Ah, apa aku yang terlalu berlebihan? Tadi itu kan hanya kesalahan kecil, tak sengaja pula. Embuhlah! Lupakan!

"Cuk, Ayo mulih. Wis terang." Aku mengajak temanku.

"Ayo, mbayar o dhisik!"

"Lho, kate muleh ta mas?" Tanya pemilik warung.

"Enggih pak, besok ada kuliah." Jawabku sambil membayar secangkir kopi, semangkuk mie instan, dan beberapa batang rokok yang ku nikmati saat hujan turun tadi.

"Mas, Pak, balik riyen nggih?" Pamitku kepada para sesama pengunjung.

"Oo.. Iyo mas, hati - hati, di gang 6 ada bencong mangkal lho. Ha - ha - ha.." Jawab seorang pria tua yang sedang asyik main catur dengan rekannya.

"Ha - ha - ha.... Ah, bapak ini, ada - ada saja. Mari pak!"

"O.. Enggih mas.."

Dan akhirnya aku menuju kost menggunakan sepeda motor dengan temanku. Hujan tinggal sejengkal, gemuruh petir meredam, angin hanya tinggal semilir. Lha, ngomong - ngomong, yang tadi itu siapa yang menang? Dewa petir? Dewa angin? Atau kah  dewa hujan? Aku mana peduli? Yang aku tahu, kalaupun mereka ada, pastilah mereka bukan Tuhan. Jika mereka memang memiliki kekuatan nan dahsyat, tetaplah itu pemberian dari Tuhan. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar