Minggu, 08 Februari 2015

Mari Tertawa: Selamat Datang Semester Empat!

Gambar dari Google
Pada suatu hari saya menemukan buku— yang menurut saya ini aneh— di kamar abang sepupu saya. Judulnya 13 Wasiat Terlarang, gila, padahal seingat saya abang saya yang buncit kekar itu sangat membenci segala hal tentang baca-membaca. “Aku wis pinter” Aku sudah pintar, katanya berkali-kali setiap dinasehati agar gemar membaca. Nah, anehnya itu, mengapa buku ini ada di sini? Hahaha. Setelah berpikir panjang dan absurb tadi, saya buka saja buku itu. Begitu menggurui. Dan tebakan saya benar, ini adalah buku motivasi! Tentang cara berbisnis pula.

Saya adalah anak muda yang sangat membenci segala hal tentang motivasi. Bagiku, motivasi datangnya itu ya cuma dari diri sendiri, motivator itu ya diri sendiri. Karena merubah diri menjadi lebih baik itu mustahil bila orang lain yang melakukan. Ya siapa lagi kalau bukan diri sendiri? Segera saya tutup lagi buku itu, eh, saya malah dibikin penasaran karena membaca sesuatu yang menarik di daftar isi; “Pertama-tama, tertawalah”. Saya buka dan baca lagi, ternyata buku ini enak buat disantap siapa saja (dalam artian bukan hanya pebisnis). Tetapi saya tidak akan menjelaskan semuanya di sini, hanya bagian tentang tertawa saja. Oke? Mari lanjut.

Konon, tertawa bisa mengaktifkan otak kanan, mencairkan suasana, mempermudah urusan, membikin awet muda dan ba-bi-bu. Yap! Saya sangat setuju dengan paman Ippho Santosa! Tertawa itu sangatlah penting! Dan konon, paman Ippho adalah motivator kedua yang saya percayai setelah diri saya sendiri karena ternyata dia adalah orang yang cengengesan pula. Hahaha!

***

Aku ingat betul bagaimana rentetan hal yang bisa membikin otak jebol terjadi dan mati satu persatu pada beberapa bulan lalu. Tepatnya dalam semester tiga. Mulai disiksa deadline tugas, dihajar gigi kumat, hingga diserang habis-habisan secara psikologis oleh ibu kos yaitu dengan terus-terusan menagih paksa bayar kosan. Tentang masalah-masalah bedebah lainnya bisa anda ketahui secara tajam setajam mulut ibu kosan di sini.

Semester tiga memang telah berakhir tiga minggu yang lalu, tentu tidak semudah itu berlalu. Banyak sekali peringatan-peringatan yang membuat saya mengerti bahwa hidup tak selalu berarti apa-apa saja yang kita mau. Hidup tak bisa kita lalui dengan sak penake dewe. Terkadang kita juga harus belajar menerima apa yang memang seharusnya kita terima meski kita tidak menghendakinya. Sebut saja Rintangan. Perihal jalan yang kita tempuh, itu sepenuhnya hak kita. Tetapi kalau yang disebut rintangan, itu mutlak urusan Tuhan. Tak dapat kita sangkal.

Saya adalah seorang mahasiswa di salah satu perguruan tinggi negeri di Surabaya dan dengan bedebahnya menempuh jurusan bahasa dan sastra Indonesia. Entah saya harus bersyukur atau mencaci karena telah masuk di jurusan yang sebenarnya (agak) salah ini. Dari kecil saya mencintai gambar dan lukisan, tetapi setelah besar, saya malah diharuskan untuk menikahi tulisan. Aduh cuk, sepertinya saya memang harus mencaci, tetapi apa dikata, bersyukur ternyata memang lebih menyenangkan. Ternyata menulis tidak menyeramkan seseram perut buncit ibu kosan. Tetapi lantas, rasa syukur itu juga dibarengi dengan sedikit rasa sebal. Di jurusan saya terdapat dua prodi, pendidikan dan sastra, dan saya masuk di prodi pendidikan. Uwasu! Itu kan berarti bahwa saya didorong agar menjadi seorang guru yang PNS itu kelak. Iya kan?

Waduh, membayangkan saya memakai seragam dinas saja sudah membuat saya tertawa sampai perut mual, apa lagi membayangkan jika nantinya saya diharuskan untuk membentuk karakter setiap anak bangsa agar berbudi luhur, beriman, bertaqwa dan tidak menjadi generasi penerus bangsa yang bengal nantinya. Sedangkan semua karakter (baik?) itu sama sekali tidak ada pada diriku. Hahaha. Maka satu-satunya hal yang patut saya syukuri adalah, bahwa, ternyata saya bukan satu-satunya pria cabul yang nyasar di prodi pendidikan! Hore!

Ternyata ada juga beberapa pemuda yang sebelas dua belas dengan saya. Miris sekali memang. Kami sama-sama makhluk nokturnal penikmat malam hingga adzan shubuh menjelang, manusia kriminal yang level kriminalnya hampir menduduki puncak tahta (opo seh cuk!), pengoleksi bokep berdurasi berjam-jam kelas monster (biasanya ketika dosen dan mata kuliah mulai bikin perut kembung dan kepala pening, film seperti ini cukup untuk mengisi waktu hingga perkuliahan selesai, kemudian buru-buru pergi ke kamar mandi untuk …), juga pemalas tingkat racun yang bisa membuat dosen jantungan mendadak.

Saya bersyukur memiliki kawan sekelas yang memiliki banyak kemiripan (bukan berarti wajah). Antara lain Akhadianto— kami memanggilnya mas Antok, kadang bang Ipul (apa-apa selalu dinyanyikan), kadang juga bang Ridho Un-roma (brewok banget). Pria mapan nan berbadan menggelambir ini suka mengkonsumsi CTM sebelum tidur. Pipinya tembem seperti pantat tante-tante. Di gerombolan badung kelas, dialah yang paling tua dan senior, sementara yang lain lahir di tahun 1995, dia sudah lahir setahun setelah Aristoteles wafat. Haha. Kemudian ada Jauhari— kami memanggilnya Joe. Joe ini memiliki rambut yang sangat kribo dan sungguh memikat (sentuh rambutnya, maka tangan anda akan terpikat dan sulit terlepas). Dia tipikal pria idaman tante girang karena memiliki banyak bulu dada. Selain alim, dia juga tampan. Ngomong-ngomong, dia adalah putra kebanggaan jurusan kami. Putra JBSI. Dan yang terakhir ada dua makhluk luar angkasa berbahaya yang menjadikan wanita sebagai mangsa mereka, Lutfi— kami memenggilnya Upik, dan Wendo— kami memanggilnya Wendo. Upik ini suka menonton video bule striptis sebelum tidur, saya tahu karena saya sekamar dengannya sejak pertama perkuliahan semester tiga dimulai. Dan Wendo, selalu merasa bahwa dialah lelaki yang paling mengerti wanita di dunia. Oh ya, dia suka ingusan kalo lihat tante molek. So, be careful with ‘em girls.

Kami memang gerombolan pemuda yang biasa-biasa saja, suka bolos, suka tidur, kebiasaan kami cuma ngerumpi ala ibu kosan bedebah di warung kopi sana-sini. Berbuat apa saja yang sekiranya bisa menyepak jauh rasa bosan, dan sepakan itu berbuah goal! Sebenarnya rasa bosan akan hilang seketika ketika melihat muka mereka yang tipikal korban sodomi itu. Dan benar saja, meski semester per semester sangat sulit merangkak dan banyak rintangan kekar menghadang, mereka siap membantu, setidaknya untuk membuat saya tertawa kapan saja. Dan ketika tertawa selalu digampangkan dan dianggap sebagai hal yang aneh dan remeh oleh kebanyakan orang, maka menurut kami— gerombolan si cengengesan-- itu sangat salah. Bagi kami, tertawa adalah obat, yang paling mujarab tentunya. Buat apa? Tentu ketika anda merasa bahwa diri anda adalah orang yang terasing dan merasa bahwa di dunia ini sudah tak ada lagi yang peduli terhadap anda (guatel bahasane), tertawa adalah jalan satu-satunya untuk menertawakan itu semua. Sebenarnya, tertawa tidak benar-benar mudah buat dilakukan. Benarkah? Tentu, tertawa memang dapat dilakukan tanpa syarat, everytime and everywere. Tetapa tertawa sudah menjadi semacam hal yang tidak dipentingkan, dianggap sia-sia bahkan kurang kerjaan. Kasihan bener orang yang seperti itu. Padahal tertawa itu jelas lebih enak ketimbang harus selalu serius dan mudah beruban.

Segala puji bagi Tuhan, karena badai semester tiga telah berlalu dan ternyata saya masih hidup. Saya heran bagaimana bisa saya tidak mengulang satu pun mata kuliah di semester ini. Padahal saya jarang masuk (setiap mata kuliah setidaknya sudah bolong empat), jarang mengerjakan tugas, apa lagi belajar. Saya memang kurang berani berucap bahwa saya ini orang beruntung, tetapi saya lebih tidak berani lagi mengucap kalau saya ini orang pintar. Untuk mata kuliah Statistika misalnya, presensi saya sudah bolong sekitar enam atau tujuh kali kalau tidak salah— saking banyaknya saya bolos saya sampai lupa sudah bolos berapa kali— tetapi saya malah dapat nilai B+. Tentu ini sangat tidak adil bagi mereka-- para mahasiswa yang rajin belajar tiap malam hingga menjelang UAS namun memiliki nilai yang “di bawah” saya. Hahaha. Mas Antok, teman saya yang buronan om-om suka homo ini mengirimi pesan pendek ketika liburan telah berlangsung: “Asu! Aku entuk B tok cuk, wah gak adil iki, mene aku arep protes nang pak Bambang.” Saya cuma dapet B. Ini tidak adil, besok saya akan protes ke pak Bambang.

Pak Bambang adalah dosen statistika yang ketika masuk, beliau selalu bersama asisten dosen yaitu bu Prima, sedangkan pak Bambang selalu sibuk dan hanya masuk dua kali dalam satu semester. Maka kesimpulannya, mata kuliah statistika kami diampu secara tetap oleh bu Prima. Wajahnya memang tidak seseram ibu kos saya, tetapi seperti dosen baru pada umumnya, bu Prima ini memiliki sangat banyak aturan. Ketat. Harus bawa buku teks lah, harus membaca tiap malam lah, yang telat keluar lah, dan lain-lain. Sedangkan saya? Buku teks tidak punya, mana bisa membaca? Sudah gitu sering telat lagi, dan pada akhirnya? Saya lebih sering bolos daripada harus masuk dan beresiko disuruh keluar lagi karena telat. Benar, lebih baik keluar sendiri daripada dikeluarkan. Hahaha.

Satu-satunya mata kuliah yang bolongnya hanya tiga yaitu Apresiai Puisi yang diampu oleh bapak Jack Parmin. Untuk mata kuliah ini, saya mendapat nilai A. Hanya tiga, yang lain berarti lebih. Lebih herannya lagi, nilai mata kuliah PKn saya adalah A-. Pendidikan Kewarganegaraan loh cuk, harus saya akui saya sudah bolong empat untuk mata kuliah ini. Saya tentu heran sekaligus sangat bangga, saya merasa sudah mengamalkan salah satu hal yang mencermikan bahwa ternyata saya juga termasuk warga negara yang baik. Aih. Pacar saya, sebut saja Bunga, dialah satu-satunya orang yang selalu khawatir jika tahun depan saya akan mengulang begitu banyak mata kuliah karena kebiasaan saya yang sering membolos. Makanya dia tak pernah lelah cerewet kepada pacarnya yang badung ini. Setiap pukul 04:45 pagi dia rutin membangunkan saya yang betah melek begadang dan rajin ngebo pagi buta ini. Karena setiap hari di semester tiga, kuliah dimulai pukul tujuh tepat.

Mungkin menurut kalian itu terlalu pagi untuk bangun, tetapi tidak bagi saya, karena kontrakan saya— yang mirip seperti rumah Spongebob sehabis diserang cacing besar Alaska— berpenghuni enam makhluk, belum termasuk astral dan hanya memiliki satu kamar mandi saja. Dan lebih bedebahnya lagi, salah seekor dari kami positif mengalami penyakit gangguan mandi gila. Bagaimana tidak? Untuk mandi saja dia menghabiskan waktu hingga berjam-jam tanpa peduli teman se-ordonya yang belum mandi akan telat kuliah nantinya. Gila! “Lapoan ae se ngonoiku? Aku ae adus ngeseng sak coline gak sampek sakmunu suwine.” Ngapain aja sih di dalam? Saya saja tidak pernah selama itu kalau mandi. Ujar Upik. Saya hanya tersenyum simpul saja menanggapi Upik yang sedang gusar, dan tentunya sudah tidak sabar coli. Maka setelah banyak-banyak mempertimbangkan, saya dan Bunga sepakat bahwa saya harus bangun sebelum jam lima. Harus! Tentu itu tak mudah bagi makhluk nokturnal paten seperti saya. Padahal jam segitu itu biasanya saya baru mau tidur.

Maka dengan mantap, saya memilih untuk tidak merubah kebiasaan saya yang menyenangkan dan non-sehat itu. Begadang. Tentu sampai fajar menjelang. Saya bemaksud agar tidak bangun kesiangan dan dapat mandi awal agar tidak ikut serta dalam ajang rebutan kamar mandi di pagi buta. Tetapi ternyata, itu tidak membantu sama sekali, saya tetap tertidur pulas sehabis mandi dan akhirnya kegiatan haram macam bolos-membolos sudah tidak bisa diantisipasi. Dan itu sangat sering. Hahaha. Bunga adalah satu-satunya makhluk Tuhan yang paling berjasa di semester tiga saya. Entah bagaimana saya harus membalas kebaikannya, apakah saya harus membangunkannya di semester empat kelak? Itu tidak masuk akal, dia selalu bangun tepat waktu. Entahlah, soal kebaikanmu, biar Tuhan saja yang membalas ya bung? Hehe.

Dengan keadaan yang seperti itu, tentu saya sangat girang bukan main ketika menyadari bahwa mata kuliah saya lulus seratus persen. Meski pada mata kuliah bahasa Sansekerta mendapat nilai C, saya tetap bahagia. Saya tidak akan mengulang tahun depan. Biarkan saja di transkrip nanti ada nilai C. Karena memang itu batas kemampuan saya dalam berbahasa Sansekerta. Saya tetap bersyukur, meski banyak kawan saya yag ber-IPK sementara di atas rata-rata kemudian memamerkannya dengan cara update status di Facebook maupun Twitter dan melihat kelakuan saya yang semakin brutal tak karuan ini, saya tetap bangga, karena IPK saya hanya turun 0,01 dari IPK sementara semester lalu. Penurunan yang sebenarnya nyaris tidak menurun. Terimaksih Tuhan.

Akhirnya waktu yang dinanti telah tiba. Liburan musim dingin. Meski sebenarnya saya tak pernah tahu akan melakukan apa saja waktu liburan nanti. Saya tetap sangat butuh itu, waktu senggang, setidaknya untuk sedikit beristirahat dan menetralkan kembali otak saya yang mulai overload karena mangalami banyak benturan di sela-sela badai 3rd fucking semester. Pada hari Senin— saya lupa tanggal berapa— saya dengan girang bersiap untuk pulang. Membayangkan nanti saya bisa menikmati kembali banyak sesuatu— yang tidak saya nikmati selama satu semester penuh— di rumah. Seperti kopi susu buatan ibu, tempe goreng yang kriuk, sambal terasi penggugah selera, dan lain-lain. Ah, jadi tidak sabar. I’m coming soon, sweet home!

Dari Surabaya sampai Babat, saya menumpang secara gratis pada teman saya. Namanya Yani, pria kelahiran Tuban ini se-jurusan dan se-angkatan dengan saya. Perutnya tambun, kulitnya hitam maskulin seperti Chuck Berry. Dia gemar sekali mengoleksi stiker-stiker berbagai merk brand untuk kemudian ditempelkan ke helm. Suatu waktu saya pernah menyumbang satu stiker di helmnya setelah membeli salah satu kaos oblong kesukaan saya. Sekarang ini saya sedang menaiki bus jurusan Babat – Bojonegoro. Busnya tidak bagus-bagus amat, tidak menggunakan fasilitas seperti AC maupun kamar mandi, namun full music. Yeah! Aku paham bila sang pemilik bus bermaksud baik yaitu bahwa, dengan menyediakan fasilitas musik, maka perjalanan penumpang akan menjadi lebih rileks dan bokong tidak akan terasa pegal. Tentu itu sah. Tetapi mirisnya, musik di sini malah berkategori mengganggu, membuat perjalanan menjadi menyiksa, dan bokong terasa menjerit seperti habis ditendang sama Flatz*.

Sumpah itu dangdut. Eh, bukan. Itu koplo. Aliran musik yang memasyarakatkan nafsu dan menafsukan masyarakat itu diputar dari pertama saya naik hingga terakhir saya turun. Seingat saya ada yang berjudul “Oplosan (Opo ora eman duwite)”, kemudian “Wedus (mending tuku sate)”, juga beberapa lagu dangdut yang dikoplokan. Mengapa saya sampai hafal? Jelas, lagu yang dibuat tanpa nyawa atau dibuat asal-asalan pasti sangat mudah dihafal, pun oleh anak TK. Ampun! Saya dengan teguh telah mengutuk siapapun itu yang pertama kali memunculkan aliran seperti ini. Saya tidak pernah paham tentang seluk-beluk musik dangut. Tetapi setidaknya saya tahu, jika musik dangdut adalah musik yang mengutamakan cengkok dan nada vokal yang rumit dari sang penyanyi, liriknya juga kebanyakan berisi ajakan untuk berbuat kebajikan, seperti lagu-lagu oleh pionir dangdut, H. Rhoma Irama. Namun lain dengan Koplo, cengkok merdu dan lirik yang bersifat persuasif itu tidak ada sama sekali di sini. Yang ada hanyalah body aduhai sang penyanyi dengan vokal yang pas-pasan, asal bisa mendesah dan bisa menarik perhatian para lelaki hidung belang, dialah yang nomor satu. Maka dari itu, saya tidak pernah menganggap koplo itu dangdut dan sebaliknya.

Dan ketika keadaan mulai menyiksa seperti ini, maka satu-satunya penyelamat yang membela kebenaran adalah, headset! Saya membuka tas, mengobrak-abrik isi tas. Hei! Headsetku mana? Asu! Pasti tertinggal di kamar kos. Oh tidak! Tamatlah riwayat saya. Selain banyak-banyak mencaci karena musik koplo, saya juga harus menahan isi perut saya yang nyaris saja keluar karena guncangan yang luar biasa. Jalanan di sepanjang Babat – Bojonegoro memang masih penuh dengan lubang. Dan bus yang saya tumpangi adalah bus yang bangga dengan jargon “sak mlakune ban” atau “terserah ban mau ke mana berjalan”. Maka keadaan dalam bus pun menjadi begitu chaos dan menyeramkan. Para penumpang tampak sangat was-was, berkeringat dingin, dan dihantui momok mati berjamaah dalam bus. Semuanya berpegangan, menahan nafas, memanjatkan doa kepada Tuhan, dan memaki sang supir. Anjing bener!

Ada seorang bapak entah siapa namanya yang duduk bersebelahan dengan saya, bukannya ikutan was-was, eh, dia malah cengengesan melihat tingkah penumpang lain yang sedang ketakutan. Sesekali kita saling pandang (tolong jangan membayangkan adegan ini terjadi secara slow motion kemudian ada bunga-bunga merah muda bertebaran dan lagu cinta yang berkumandang seperti adegan klasik dalam FTV. Itu menjijikkan), kemudian kami tertawa terbahak menikmati kegaduhan— yang menyenangkan— yang terjadi dalam bus. “supire juancuk! Haha” ujarnya dengan kelakar. Aku hanya bisa mengiyakan perkataan sang bapak dan ikut menjancukkan supir yang menyupirkan jancuk itu. Saat saya turun, bumi terasa bergoyang, aku hampir ambruk karena masih merasakan pening di kepala. Saya hanya bisa menertawakan kejadian barusan yang “one step closer to death” banget. Setidaknya saya masih bisa bersyukur karena masih bisa hengkang dari bus dalam keadaan hidup. Dan tentunya saya masih bisa bersyukur karena masih diberi kesempatan untuk tertawa, membayangkan betapa paniknya para penumpang yang masih terpenjara dalam bus sialan itu. Hahaha.

***

Pukul 18.45. Suara eyang Ozzy sang dewa kegelapan lamat-lamat terdengar memikat melalui headset berumur senja yang sedang hikmat tertancap di kuping sejak selepas maghrib tadi. Di luar mungkin masih begitu lembab karena hujan yang masih belum lama reda. Sedang tidak terlalu sulit menebak apa-apa saja yang dilakukan para penduduk desa saat seperti ini, kebanyakan pasti sedang menonton sinetron yang memasyarakatkan racun dan meracunkan masyarakat itu. Saya jadi prihatin. Karena satu-satunya adik kandung saya yang berjenis kelamin laki-laki itu juga sangat teradiksi oleh sinetron kampungan itu. Dan mungkin tingkatannya hampir mencapai over dosis. Ya Tuhan, sinetron terkutuk macam apa ini? Yang dengan bedebahnya meracuni pikiran orang-orang awam dan anak kecil nan tidak berdosa.

Adik saya baru kelas 5 SD, namanya Dika. Dia sangat gemar menoton sinetron Ganteng-ganteng Serigala. Semua embel-embel mengenai sinetron itu disukai olehnya. Saya sempat miris ketika melihat adik sepupu saya— namanya Messy— datang main ke rumah kemudian mereka bermain perang-perangan. Di sini, karakter Power Ranger merah maupun putih sudah bukan menjadi hal yang akan diperebutkan lagi, tetapi karakter Tristan yang vampire dan Galang yang serigala itulah yang akan menjadi rebutan. Dan lebih mirisnya lagi, saat saya baru saja sampai rumah dengan hati gembira, hampir mati akibat serangan jantung karena melihat stiker murahan bergambar wajah imut dan menjijikkan salah satu bintang sinetron tersebut nempel di bagian luar pintu kamar saya. Jancuk! Menggelikan! Benar-benar terkutuk kau Aliando! Untunglah saya bergegas mencopot kemudian segera membakarnya dengan penuh memaki sehingga nafas saya yang semula sangat sesak dapat kembali lega dan teratur. Gila bener ini si bocah. Sepertinya sebagai anak tertua di rumah, saya gagal memberikan contoh tayangan yang baik kepada adik-adik saya. Ah sudahlah, mungkin mereka memang belum cukup dewasa dan belum cukup tahu bagaimana busuknya tayangan televisi Indonesia.

Lagu selanjutnya, masih dari Black Sabbath, Snow Blind. Hey, ternyata bukan! Ini bukan Snow Blind yang biasanya dinyanyikan secara ‘ngalem’ dan memikat oleh eyang Ozzy itu, ternyata lagu yang sedang saya dengar ini adalah System Of A Down yang membawakannya. Musiknya lebih cepat dan menghentak (mungkin karena dibawakan oleh para preman Armenia). Saya semakin betah di rumah saja, di desa saya masih terdapat persawahan yang lapang dan setidaknya masih ada sekitar ratusan pepohonan— dulu ada ribuan-- yang membuat desa saya terlihat asri dan hijau. Penduduknya jelas, mayoritasnya adalah bapak dan ibu petani yang gagah dan berkharisma agung. Sedang enak-enak menikmati lagu, tiba-tiba ada sebuah pesan pendek yang saya terima. Itu dari teman saya yang mengajak ngopi: “Jancok, ngocok nang kamar ae, ayo ngopi.” By: Gembel. Aku hanya tersenyum tampan— meski aku buruk rupa— menanggapi pesan dari si buncit tadi, tak kubalas, maaf mbel, aku sedang malas keluar, kulanjut saja aktivitasku mendengar lagu. Selang lima menit, saya kembali mendapatkan pesan pendek. Masih oleh Gembel: “Wo jieeemmb**o**t.” Kali ini saya sedikit lebih cengengesan menanggapi short massage tersebut dan membalasnya, setelah aku bertanya macam ‘di mana?’ dan ‘apakah sekarang?’ hingga akhirnya Gembel yang bermuka arogan dan berhati dangdut itu misuh-misuh karena saya kebanyakan nanya.

Kami akhirnya janjian di salah satu warung kopi di desa kami. Di sana pasti sudah banyak sekali orang-orang yang sudah berkepala tiga atau empat bercengkerama masalah pertanian dan ladang. Dulunya itu adalah warung kopi langganan bapak-bapak karena tempatnya yang asri dan nyaman hingga kemudian kami— gerombolan si darah muda— mengacau dan menyerang, bapak-bapak terkadang harus menutup kuping dan banyak-banyak beristighfar karena kami yang sering membuat kegaduhan. Haha. Baru sampai di warung. “Wah, iki lho master skak wes teko.” Wah, ini lho master catur sudah datang. Teriak mas Romli, pemilik warung. Dan benar dugaan saya, di salah satu meja tempat menaruh kopi sudah ada dua papan catur yang tergelar dan dua orang yang terlihat mikir keras sedang berhadapan.

Saya memang sangat menyukai permainan catur sejak saya kelas empat SD, sebelum itu saya sangat membenci permainan catur kerena belum bisa. Begitulah saya, kalau belum bisa melakukan ya bisanya cuma memaki. Hehehe. Di desa ini kemampuan saya menggerakkan bidak-bidak catur memang mendekati kata lumayan. Meski saya adalah orang yang malas belajar tentang mata kuliah, tetapi saya sangat gemar dengan permainan otak seperti catur, mengisi teka-teki silang, tebak gambar, dan lain-lain. Ada yang bilang master catur segala lagi (duh, sesatnya mereka yang bilang. Semoga cepat disadarkan). Belum lama melihat, paklek Wadhi yang berkumis tebal itu telah tumbang oleh paklek entah siapa— orang-orang memanggilnya pak’e Pan. Permainan selesai. “Nyah kilho nek ape main.” Nih kalau mau main, saya ditawari olehnya. Maka dengan girang saya segera menganggukkan kepala kemudian duduk di hadapan paklek pak’e Pan.

#Round 1: Dari pertama saja saya sudah bisa mengobrak-abrik pertahanan paklek pak’e Pan yang sebelah kanan dengan kuda dan menteri. Oh ya, dalam permainan catur, saya sangat menyukai kuda sebagai lakon atau dalang penyerang utama, karena selain sulit ditebak, langkah kuda juga tiada yang bisa membendung. Saat sedang asyik main, tiba-tiba muncul Hari, sosok penampakan keling yang membenci permainan catur. “Kayu ae dipikir nemen-nemen. Koyok mikir negoro ae.” Kayu saja kok dipikir serius, kayak mikir negara saja. Katanya ketus. Kami— saya dan paklek pak’e Pan— hanya tersenyum cool menanggapi bocah mesum tadi dan tetap melanjutkan permainan kami yang sudah mulai seru. Sebenarnya saya sangat membenci perkataan yang menyakitkan hati seperti itu. Saya tak habis pikir, memangnya hubungan kayu sama negara itu apa toh? Bodoh sekali kan? Iya, bagi saya, siapa saja yang bercakap bahwa catur hanya sekadar tentang kayu saja itu sangatlah bodoh dan awam. Dan satu-satunya alasan yang tidak akan meleset adalah, itu karena mereka sama sekali tidak bisa main catur. Itu sangat masuk akal.

Dulu waktu kecil saya juga membenci permainan catur karena saya tidak bisa, tetapi setelah belajar— dengan cara melihat— pada teman-teman saya, lama kelamaan saya bisa. Malahan, sekarang saya lebih mencintai catur melebihi mereka. Saya suka bermain catur meski pun saya akan kalah. Itu tak apa, setidaknya otakku yang jarang kugunakan ini sudah ada kegunaannya untuk sekarang ini. Jelas, saya dan bahkan semua orang yang sangat suka bermain catur, akan sangat sukar bila ada yang menghina permainan catur itu adalah permainan tentang kayu saja. Permainan sia-sia berpikir dan lain-lain. Padahal permainan catur adalah permainan bagi mereka yang berotak cerdik dan licik, membutuhkan strategi yang jitu agar menang, dan yang terpenting, kita harus sangat teliti. Karena jika tidak, kita akan bernasib sama seperti paklek Wadhi yang berhasil takluk oleh paklek pak’e Pan dan hanya bisa berkata menyesal: “Aduh, lali aku nek nang kono enek ster.” Aduh, saya lupa kalau di situ ada menteri. Hahaha.

Sudahlah, intinya saya tidak suka mendengar orang— siapapun itu— yang merendahkan dan meremehkan permainan catur. Dan satu lagi, mungkin saking bodoh dan awamnya, mereka tidak tahu bahwa sekarang sudah ada teknologi catur berbahan plastik (tidak menggunakan kayu lagi). Mungkin lebih baik jika mereka jangan sampai tahu, karena saya tidak bisa membayangkan kalau saja mereka sampai ngomong: “Plastik kok dipikir nemen-nemen, koyok mikir negoro ae.” Lah, memangnya hubungan plastik sama negara itu apa? Hahaha sudahlah, mari kembali ke permainan. Akhirnya, setelah pasukan-pasukan saya melewati masa kritis selama beberapa menit, sang raja dari kubu lawan yang sudah pasrah dan menunduk getir— karena sudah diambang kematian— harus rela mengibarkan bendera putih. Saya menang! Dan tertawalah saya. Hahaha. Mari lanjut paklek! #Round 2: ...

***

Bolehkah saya bersyukur sekali lagi? Tolong jangan bosan mendengar kalimat syukur dari saya. Karena mungkin, hanya itu yang bisa saya lakukan. Terimakasih banyak Tuhan. Semester tiga telah banyak memberi pelajaran kepada saya. Seperti jangan lupa sikat gigi malam agar tidak sakit gigi, jangan lupa bersedekah agar rejeki lebih lancar, juga jangan lupa membersihkan kamar agar tidak banyak nyamuk, dan yan terpenting, jangan terlalu berambisi yang sekiranya itu dapat membuat persahabatan kalian rusak (seperti tidak mau menemani teman yang membolos, tidak mau menemani teman yang begadang, teman yang asyik, dan lain-lain), dan oke, sepertinya itu pelajaran yang berharga sekali. Sudahlah, saya sudah ngomel terlalu banyak. Lebih baik saya sudahi saja tulisan acak-adul ini sampai di sini! Selamat menikmati liburan cuk, selamat bersenang-senang. Untuk kali ini saja, tolong iyakan ajakan saya untuk tertawa bersama. Mari tertawa! Hahahaha! Oh ya, sambut hangat untuk semester empat mendatang. Saya sudah tidak sabar untuk kembali bertarung!

Let’s just laugh. We can never do anything about anything, anyway
Whatever will be, I guess we’ll see. So let’s just laugh.”
(The Lemonheads)

Post Script: Kalau nanti aku belum pintar, jangan pernah bosan membangunkanku ya bung? :D
*Flatz: Karakter dalam kartun Spongebob yang gemar menendang bokong


Tidak ada komentar:

Posting Komentar