Hari segera bangun dari lelapnya, kemudian tanpa segan ia membuka mata. Kegelapan mulai memudar tanpa menunggu aba - aba. Perlahan pendar cahaya sang surya mulai menyebar, menyusup, merangkul sang bumi, memukul beku dinginnya malam.
Di seberang jalan tampak para penghuni pasar yang lalu - lalang mengecer dagangan. Terdengar merdu dan menggoda auman seorang Ibu penjual kue serabi. Andai kata hangat sang mentari sudah cukup, tentunya aku tak bungkam. Namun dinginnya pagi kemarau memang terlalu picik, terlalu cerdik untuk di bodohi.
Pagi ini memang tak seperti sedia kala. Rerumputan liar terlihat tajam menyeringai tanpa embun berlinangan menghiasinya. Namun aku tak dapat memungkiri, bahwa selalu ada keindahan di setiap kenistaan. Aku tetap takjub ketika mendengar dendangan para anak burung yang kelaparan. Maka sang biyung, bertebaranlah mereka merayapi cagar alam semesta.
***
Aku pun tak seperti biasanya. Biasanya, aku tak pernah mau peduli dengan hadirnya pagi. Aku tak mau tahu tentang kelahiran sang surya di awal hari. Tapi entah, hari ini. Pagi ini, seakan ia menyeretku, memaksaku untuk menikmati elok parasnya. Aku mana berani menolak? Dengan malam saja aku berani bercumbu.
Sempat aku menatap wajah pagiku di balik cermin. Oh, ini terlalu menjijikkan! Sial! Aku tertipu oleh pagi. Mengapa aku tak elok sepertinya? Tapi tak apalah, aku harus tetap melayani sang pagi meski dengan kantuk yang ku seret paksa ke ruang bedebah di pagi hari. Ya, kamar mandi. Oh, jangan salah paham, ini masih terlalu pagi untukku mandi. Aku hanya sekedar mengusap - usap raut wajah dengan dingin air pagi kamar mandi yang mengusir sisa - sisa kotoran saat ku terlelap.
Aku menuju ruang tamu, ku dapati disana setengah gelas kopi hangat yang mulai mendingin. Aku mengerti, sebagian dari minuman itu telah di nikmati Ayah pagi - pagi tadi sebelum berangkat kerja. Oh, bahagianya. Aku dapat berjoin kopi dengan ayahku. Walaupun bukan secara langsung dan tanpa ada obrolan hangat di antara kami, aku bahagia. Ini sudah cukup bagiku. Maka segera ku minum kopi tadi. Nikmat. Terimakasih Ayah.
***
Kembali hati di gelayuti rasa gelisah yang datang tanpa pernah ku undang. Oh, aku segera mengetahui, ini bermula sejak perpisahan itu. Perpisahan yang tak dapat di katakan sementara, namun tak juga selamanya. Aku yakin aku dapat melewatinya. Pun aku tahu batas kemampuanku. Aku sadar aku hanyalah seorang Hamba tanpa mu'jizat yang terjerembab ke dalam kehidupan. Aku tak pernah menyesali itu. Meski hanya sekedar remang - remang wajahnya yang dapat ku cumbu di sela - sela waktu. Aku bersyukur dapat di beri kemampuan dapat merindunya. Sssst. Asal kau tahu saja. Dia adalah kekasihku.
Aku terbisu sejenak menikmati sisa - sisa bayangnya yang mulai memudar. Seperti fajar yang mati perlahan di telan pagi.
***
"Nak, sarapannya di makan dulu sana, nanti dingin lho!"
Terdengar jelas suara tadi, walau aku tahu suara itu berasal dari ruang dapur. Suara tersebut sukses menghapus sisa separuh bayangan yang masih ku rapal dan ku nikmati. Benar, lamunanku terpecah seketika.
"Iya bu.. Sebentar lagi..!" Teriakku dari ruang tamu.
Terdengar langkah kaki menuju tempat singgahku.
"Ibu mau pergi mengajar dulu. Kamu baik - baik di rumah ya.." Pamitnya.
Tak pelak lagi, itu adalah suara sesosok wanita yang kerap ku panggil Ibu. Seorang wanita luar biasa dengan kharismanya yang tak mampu ku ungkapkan betapa banyak sisi baiknya. Oh Ibu.... Ah! Apalah itu sebuah kata yang dapat melebihi kata "sempurna". Untukmu.
"Iya bu, hati - hati." Jawabku singkat sambil mencium tangannya.
Setelah beliau berangkat, aku beranjak dari tempatku menikmati pagi, tempat singgahku. Aku tak tahu lagi apa yang harus aku lakukan selain mematuhi perintah Ibu. Aku mulai mengorek apa yang dapat aku korek di sebuah ruang yang sama sekali tak bersih. Penuh bau - bau berbagai bumbu disana. Walaupun begitu, aku bahkan malah sangat nyaman disana. Dengan jemariku, aku segera menuntaskan rasa laparku. Lagi - lagi, terimakasih untukmu, Ibu.
Keputusan sang waktu memang tak dapat di halangi oleh siapapun. Lihat saja dirimu, kau bukanlah siapa - siapa. Waktu tak akan pernah mau peduli terhadap apa yang sedang kau lakukan. Entah kau asyik atau muak dengan itu. Ia akan berjalan sebagaimana mestinya. Ini seperti saat kau sedang asyik membaca, saat kau sedang asyik dengan halaman satumu. Ia tak akan pernah segan membuka lembaran baru dan memaksamu untuk membaca halaman dua, walaupun kau belum selesai dengan halaman satu. Memang bedebah. Saat aku sedang asyik dan belum selesai dengan pagiku. Ia lancang merenggutnya tanpa mempedulikanku dan merubahnya dengan siang. Detik - detik menghilangnya pagi. Aku tak berdaya, aku memang tak berhak menangisinya. Ah, biarkan saja. Toh aku pun bukan siapa - siapa juga bagi sang pagi.
Hari mulai terasa hambar. Sang surya yang tadi ramah seolah berbalik memusuhi dan menyerang bumi dengan teriknya yang membakar. Sang belukar rerumputan terkesan lebih buas dari sebelumnya. Padahal aku tahu ini adalah ruang pedesaan yang akrab dengan kesuburannya yang menawan. Oh, aku tahu. Mungkin telanjang dada adalah cara terbaik mengatasi hawa panas yang memadat di ruangan tempat ku merebahkan tubuhku.
Sungguh, aku merindukan musim penghujan. Musim yang penuh dengan kelembaban para daun. Dimana aku bisa merasakan kehangatan selimutku saat ku merasa kedinginan. Dimana kopi terasa begitu nikmat, walaupun masih mendidih. Dimana aku dapat bermain - main sepuasnya di halaman rumah saat hujan turun. Dan dimana aku rela berkotor - kotoran dengan lumpur di area persawahan. Sungguh, aku sedih saat harus mengenang masa - masa itu. Masa kecilku.
Kau tahu? Masa kecil adalah masa yang paling sempurna di banding masa - masa lainnya. Kau akan selalu merasa menang dan enggan mengalah saat kau kecil, walaupun kenyataannya kau sering kalah. Kau akan menentang siapapun tanpa rasa takut. Kau akan menangis tanpa rasa malu saat kau kesakitan. Kau akan berbuat hal - hal baru yang menurut orang dewasa terlalu berbahaya untukmu. Hanya saat kau masih kecil. Benar - benar masa tiada banding.
Tapi sayang, pagi telah munafik. Siang pun tak mau kalah. Sore siap berebut sang waktu. Tetapi sang malam tetap nyaman dengan waktu separuh hari yang di kuasainya. Ia tertawa puas melihat mereka berebut waktu separuh hari lainnya. Mereka tak akan pernah berhenti berkecamuk mengisi sang waktu. Apa mau di kata, waktu memang telah merenggut masa kecilku. Aku telah beranjak dewasa kini. Aku telah banyak di cekoki berbagai kepahitan - kepahitan hidup selama ini. Aku telah melihat banyak sekali perubahan di desaku. Kemarau pun tak terasa sekejam ini saat ku kecil.
***
Aku ingat kemarau saat ku kecil dulu. Aku pernah bermain - main di sebuah ladang yang lama tak di tanami palawija. Disana tumbuh rerumputan liar dan semak belukar di sekitar yang tumbuh bebas. Tempat itu memang terkesan terlalu berbahaya bila di kunjungi anak kecil. Ah, apa peduliku waktu itu.
"Mau kemana le..?" Tanya Ibuku saat ku hendak menjalankan sepedaku.
"Mau sepakbola bu di lapangan desa sebelah" Jawabku.
"Jangan pulang maghrib - maghrib ya?"
"Iya iya!" (Memang dasar anak kecil, sukar untuk di atur)
Kau pasti tahu aku telah membohongi Ibuku. Jelas - jelas aku akan pergi ke tempat yang saya sebutkan tadi. Sebuah ladang tak terpakai.
Ku kayuh sepedaku menuju sebuah ladang tadi. Setelah sampai, aku hanyut di sambut oleh lambaian para ilalang yang hampir merengus akibat kemarau panjang. Angin sepoi kemarau yang memang ku rindukan saat ini, yang ku nikmati saat itu. Aku melempar sepedaku kemudian berlarian disana. Aku tak peduli dengan apa - apa yang (menurut orang itu buruk) ada disana. Bahkan aku sempat menirukan teriakan sang kodok yang tengah sekarat di makan ular. Entahlah, aku seakan malah gemas dengan hal - hal yang berbahaya waktu itu.
Sang senja mulai membuka mata. Aku berbaring di tengah ladang itu tanpa mempedulikan keras dan tajamnya rerumputan yang menyelusup mengenai tubuh melalui celah - celah pakaianku. Aku benar - benar menikmati pemandangan menakjubkan yang sebelumnya ku anggap biasa saja. Aku melihat matahari senja yang hampir menyerahkan seluruh tubuhnya kepada sang malam yang penuh nafsu.
"Hey nak! Jangan disitu, berbahaya!! Ini sudah hampir maghrib. Ayo cepat pulanglah!!" Teriakan seorang petani dari kejauhan yang membuatku gagal meniti keindahan senja.
"Iya paklek, bentar lagi!!!"
"Sekarang! Kasihan orang tuamu, pasti mereka sedang gelisah mencarimu!!"
Iyaiya paklek!!!" Jawabku kesal.
Oh, sial! Bagaimanapun dikata, aku tetaplah Si kecil yang harus patuh terhadap orang dewasa. Orang tuaku akan marah besar jika ada yang mengadukanku berbuat tidak sopan di desa. Ya, tetangga - tetangga di desaku memang kerap dengan kebiasaan mengadu, menggunjing, dan lain - lain. Maklumlah, warga pedesaan.
Esok harinya, aku kembali ke tempat itu dengan sepedaku. Aku kembali memuaskan diriku dengan bermain - main bersama teman - teman khayalanku disana. Aku gila? Mungkin saja. Tapi, jika di pikir - pikir lagi, memang hanya anak kecil gila sepertiku yang tak mengenal apa itu bahaya. Dan semua bahaya - bahaya pertamaku memang ku dapat dari ladang itu. Mulai dari jatuh di mulut bumi yang mulai retak, sampai aku hampir mati di sengat ular di balik semak belukar. Sungguh, bagiku itu sangat luar biasa.
Singkat cerita, aku memang tak pernah bosan mengingat segala yang termakhtub di ladang tersebut. Benar - benar ingatan yang membahagiakan. Cukup mendinginkan ketika panas kemarau sedang menderu seperti saat ini. Kemarau dulu memang tak sepanas kemarau sekarang dan kemarau sekarang memang tak sehangat kemarau dulu.
*Meski telah berdiri tembok bangunan disana, bagiku itu tetaplah ladang tempatku bermain dan belajar tentang apa arti bahaya sesungguhnya. "Selamat tinggal mara bahaya pertamaku."
SEKIAN.. ^^
Surabaya, 04 Februari 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar