Kemarin malam waktu ngopi bareng di gang VII, Tito menanyakan kepada saya tentang musik apa yang saat ini saya gandrungi. "Sharing po o cuk!" ketusnya. Saya bingung dan diam sejenak. Karena saat ini, saya seperti umat rock yang ling-lung. Saya belum memiliki referensi apa-apa soal perkembangan musik saat ini. Selain karena laptop saya yang sudah dijemput sang malaikat maut, saya juga kurang bisa menabung dengan baik untuk berlangganan majalah musik. Biasanya saya hanya pergi ke warnet dengan paket malam Rp 5000/4 jam untuk sekadar melihat-lihat geliat hiruk-pikuk perkembangan musik favorit. Saya dengan enteng mengaku saja kalau saya sedang kosong dan hampa. Untuk mengalihkan rasa malu dan rasa berdosa saya, saya asal-asalan bilang saja kalau sekarang saya lagi mengingat ulang atau menggandrungi kembali musik-musik pertama saya dulu. Yaitu musik-musik yang menyelamatkan saya dari kekacauan dan krisis musik berkualitas di Indonesia pada waktu itu. Benar, ini resiko umat yang lahir di abad ke-20 seperti saya. Pertamanya memang asal-asalan menjawab, tetapi kemudian saya berpikir kembali menggunakan otak bodoh saya, bahwa ternyata saya telah melupakan banyak sekali album-album pertama saya waktu itu. Maka saya putuskan untuk mendengarnya kembali. Membenahi dan menghafalkan kembali bagian lirik-lirik yang mulai kabur dari kepala. Benar juga, saya adalah seorang medioker yang dangkal pengetahuannya mengenai musik, maka dari itu, musik yang saya dengarkan mungkin sudah didengarkan oleh kebanyakan orang. Ya, saya akui itu. Tetapi saya akan menyangkal bahwa musik yang saya dengarkan adalah musik super menjana seperti musik labilnya Last Child atau Killing Me Inside yang sok-sokan frustasi itu. Saya akan membagikan beberapa album yang berhasil meniriskan saya dari badai krisis musik berkualitas. Saya menyebut mereka album penyelamat. Monggo:
1. Guns N' Roses - Appetite for Destruction (1987)
Waktu itu saya masih berseragam putih abu-abu. Saya akui lagu-lagu seperti Permintaan Hati dan Betapa Aku Mencintaimu masih hinggap dengan bedebah di ponsel saya yang saat itu masih labil. Saya enggan menyebut nama bandnya. Saya malu. Tetapi kemudian, teman sekaligus kakak kelas saya yang melanjutkan pendidikan di luar kota pulang kampung dan memamerkan lagu yang saat itu belum kuketahui. Namanya Usman, dan lagu yang dipamerkan adalah Sweet Child O' Mine oleh Guns N' Roses. Saya dengan sangat malu juga akan mengaku bahwa waktu itu saya sempat memaki semacam "Lagu macam apa sih?" juga "Lagune wong gendeng" kemudian memamerkan balik lagu-lagu merengek yang baru kucomot dari ponsel teman se-labil saya di sekolah. My sin. Tetapi ternyata Usman sangat berwibawa dan secara dingin mengatakan, "Lagu ngonoiku bahaya. Kon gelem dadi koyok Rangga?" Lagu seperti itu berbahaya. Kamu mau menjadi seperti Rangga? ia berujar. Rangga sendiri adalah tokoh misterius di desa kami yang sering dianggap psikopat karena kurang berbaur dengan masyarakat dan pernah dianggap membunuh salah satu warga desa yang disebabkan oleh masalah sepele. Oke oke, saya juga akan mengakui bahwa, dulu saya mendengar Sweet Child O' Mine karena tidak mau dianggap norak oleh Usman, juga karena momok yang menakutkan. Menjadi seperti Rangga. Pertama saya mendengar lagu ini, kesannya biasa saja. Mungkin karena saya masih murtad dan belum tersadarkan. Saya putar lagi, kepala saya mengangguk-angguk tanpa saya perintah. Dan setelah berkali-kali mendengarnya, saya mulai mencintai lagu ini. Juga Guns N' Roses, juga alirannya. Saat di warnet, saya sudah tidak lagi mengetik kata kunci "Peterpan" pada kotak search engine, tetapi "Guns N' Roses". Karena saya masih mualaf dan bodoh, saya tak terlebih dahulu membaca informasi dan awal mula band ini terbentuk, melainkan langsung menuju pada deretan album mereka. Ternyata Sweet Child O' Mine termaktub dalam album Appetite for Destruction. Bersanding dengan lagu-lagu yang belum pernah kuketahui sama sekali. Tanpa pikir panjang, saya langsung mendownload semua lagu di album tersebut, kecuali Sweet Child O' Mine tentunya. Hingga saya sangat tergila-gila dengan lagu-lagu nakal seperti Welcome to The Jungle, Rocket Queen, Out ta Get Me hingga You're Crazy. Sebenarnya waktu itu saya juga sudah mengetahui paling tidak beberapa band seperti Avenged Sevenfold, Sum 41 dan Green Day. Tentu bukan karena benar-benar suka, melainkan karena ingin tampil keren dan sok-sokan menjadi rocker. Setelah saya sudah sedikit sadar, saya menghapus semua lagu-lagu penuh borok di ponsel saya, kemudian dengan bangga memamerkan lagu-lagu dan prinsip hidup saya yang baru kepada teman-teman yang masih setia dengan St12 maupun Armada di sekolah. Tak jauh berbeda dengan saya waktu pertama dulu, umpatan semacam "Lagu macam apa sih?" juga "Lagune wong gendeng" mencuar pedas dari mulut mereka. Aduh, saya jadi bingung, saya mau menyadarkan mereka dengan cara apa? Saya tak mungkin memakai cara Usman. Masalahnya, saya tidak tahu nama-nama orang gila di desa mereka masing-masing. Masa iya saya akan memakai nama Rangga? Tentu tidak mungkin. Tapi sudahlah, biarkan mereka mencari jati diri mereka masing-masing sesuka hati mereka. Yang penting saya sudah punya Guns N' Roses di ponsel saya. Saya tidak akan merengek lagi. Maafkan saya jika begitu telat dewasa. Setidaknya, pintu gerbang yang di dalamnya terdapat guncangan sudah mulai terbuka walau sedikit.
2. Megadeth - Rust in Peace (1990)
Setelah berhasil teradiksi oleh Guns N' Roses, saya menyebut diri saya sendiri dengan sebutan anak rock baru melek (baru lahir). Benar, saya merasa seperti baru saja diadakan di bumi ini. Karena masih bayi, saya begitu ingin tahu lebih mendalam mangenai musik rock. Saya banyak membaca artikel di Wikipedia (saya mana tahu kalau saat itu sudah ada Webzine seperti Rolling Stone atau situs mengguncang seperti Metalhammer?). Ternyata unsur labil masih sedikit ada yang melekat di otak saya. Saya belum bisa mencintai suatu jenis musik saja, semuanya kulahap. Satu syarat yang saya wajibkan saat itu adalah, musiknya tak boleh merengek dan harus bisa membuat saya teriak-teriak saat mandi. Baiklah, ternyata itu dua. Tetapi intinya memang satu, saya tak akan lagi menyimpan apalagi membanggakan Peterpan yang mendayu-dayu itu. Saya berjanji. Balik ke cerita. Saya yang belum bisa membedakan genre atau bahkan subgenre dari musik rock malah sempat nyasar ke ranah thrash metal waktu itu. Tetapi abaikan saja istilah nyasar atau tersesat, saya malah menyebut ini sebagai proses yang berharga. Hangar 18 dan Take No Prisoners adalah lakon utama penyebab saya mencintai thrash metal. Mereka berada dalam album ke-empat Megadeth. Rust in Peace. Perjalanan yang menyenangkan. Mungkin akan ada yang memaki saat membaca album nomor tiga. Karena selain hair metal, saya juga menggandrungi grunge!
3. Nirvana - Nevermind (1991)
Untuk para umat hair metal, saya mengerti jika kalian sangat ingin melempari saya dengan botol dan kaleng bir. Sedikit yang saya tahu, musik grunge telah menimbun dan menuntaskan aliran hair metal. Saya tahu kalian sepenuhnya membenci Nirvana dan Nevermind seperti Tuhan yang mengutuk iblis beserta keturunannya. Namun saya tak bisa memungkiri, saya sangat mengagumi Kurt Cobain. Beliau keren, chaos, rasa frustasinya berhasil tertuang penuh dalam lagu-lagunya. Tidak seperti lagu-lagunya Last Child itu. Dan jujur sampai saat ini, saya masih menganggapnya sebagai dewa. Dosakah saya? Mungkin kalian akan menjawab kata benar dengan sangat lantang. Saya bisa mendengarnya. Maafkan saya, saya memang labil dan berusaha menutupinya dengan kata omnivora musik agar tidak malu. Pertama saya mengenal Nirvana, sangat tidak terduga. Waktu itu handphone saya rusak dan sudah tidak bisa lagi diperbaiki, maka dengan sangat memelas, saya minta dibelikan ponsel genggam baru kepada orang tua saya. Saya juga masih ingat, waktu itu Bapak hanya sanggup membelikan ponsel second kepada saya, saya tidak masalah. "Sing penting iso diisi lagu sing akeh pak." yang penting bisa diisi banyak lagu pak, kataku. Ponselpun dibeli, saya sangat girang. Sebentar lagi saya bisa kembali menikmati musik saat sebelum tidur maupun teriak-teriak saat sedang mandi. Setelah ponsel berpindah tangan, saya segera mengaktifkannya dengan gembira. Saya membuka pemutar musik. Hei, ternyata sudah ada isinya! Kebanyakan adalah lagu Barat pula. Seingat saya, antara lain:
- Nirvana - The Man Who Sold The World (David Bowie Cover)
- Nirvana - Smells Like Teen Spirit
- Nirvana - Come As You Are
- Nirvana - Lounge Act
- Green Day - American Idiot
- Guns N' Roses - Sweet Child O' Mine
- Guns N' Roses - Don't Cry
- Nirvana - Breed
- Linkin Park - Numb
- Linkin Park - Breaking The Habit
- Linkin Park - Figure
- St12 - Putri Iklan (Then deleted soon)
- Peterpan ft. Crhisye - Menunggumu (Only hear once, then deleted)
Aduh, yang lain lupa. Pokoknya track list itu didominasi oleh Nirvana. Band macam apa itu? Alirannya apa? Pengaruhnya bagaimana? Lagunya kok kacau begini? Setelah pikir panjang, akhirnya saya menyisihkan uang saku untuk mencari informasi tentang Nirvana di warnet. Akhirnya saya sedikit mengetahui tantang grunge, pula Kurt Cobain, sosok yang membuat saya ingin sekali memiliki rambut pirang yang berantakan menutupi seluruh raut wajah dan menyileti bagian lutut pada celana jeans saya waktu itu. Dan setiap ditanya apa cita-cita saya, saya selalu menjawab ingin seperti Kurt Cobain. Dasar anak kecil nan ingusan. Sebenarnya keinginan itu masih ada setidaknya untuk saat ini. Tetapi sayang, wajah saya tidak cocok berambut pirang. Maka dengan sebuah pertimbangan takut dikira bencong narsis maupun emo labil, saya mengurungkan niat untuk merubah warna rambut saya, dan menguburnya dalam-dalam. Tetapi untuk mengagumi sosok Cobain yang kacau itu, rasa-rasanya tak akan pernah berujung. Sebentar sebentar, ngomong-ngomong, Linkin Park itu siapa lagi sih?
4. Linkin Park - Meteora (2003)
Endusan saya merambah hingga nu metal. Alasannya sama, yaitu karena amat sangat penasaran. Numb adalah dalang dibalik semuanya. Saat mendengar, urat nadiku dipenuhi rasa berdesir. Saya ke warnet lagi. Meteora sudah ada di ponsel. Instrumen yang memikat adalah senjata utama mereka. Lagu-lagu seperti From The Inside, Don't Stay, Easier to Run dan Breaking The Habit menjadi penyebab hari-hari saya lebih banyak saya gunakan untuk diam dan merenung. Saya jadi lupa mengerjakan tugas, jadi malas bersekolah, jadi banyak merokok, kurang peduli urusan perempuan dll. Kecil-kecil sudah brutal!
5. Green Day - American Idiot (2003)
Sebenarnya, musik punk rock sudah saya kenal sebelum empat genre di depan. Saya sudah mengetahui band-band "darah muda" seperti Blink-182, Sum 41, Good Charlotte dan System Of A Down. Tetapi saya menuliskan ini di akhir, karena dulu, saya mendengar Green Day secara sungguh-sungguh memang setelah keempat grub band di depan (Guns N' Roses, Megadeth, Nirvana dan Linkin Park). Sebelumnya, saya hanya mengikuti arus saja, teman-teman saya suka Green Day, maka saya begitu juga. Tetapi kalau sekarang, saya berani bersumpah, saya tidak peduli jika tidak ada seorangpun yang menyukai Green Day, saya akan tetap suka. Berawal dari lagu Boulevard of Broken Dreams, saya berhasil masuk dalam deretan pemuda yang (merasa dirinya) paling berbahaya. Dangerous!
***
Kelima album tersebut merupakan awal perjalanan saya dalam menggemari musik rock. Gerbang menuju kegaduhan. Sejak saat itu, saya jadi sering ke warnet. Tanpa pikir ini itu, pencomotan file secara ilegal dari 4shared pun saya lakukan hari demi hari. Saya lambat-laun mulai paham tentang musik rock dan metal. Saya mulai tahu band ini itu, webzine ini itu, konser sana-sini. Hidup saya mulai penuh guncangan, dan itu sangat menyenangkan. Saya tak akan pernah peduli jika mereka saling berbenturan dan berbeda pandangan, saya tak akan pernah sanggup membenci apalagi mengutuk salah satu dari mereka. Saya yang sangat lalai dan mudah pikun ini berjanji, akan kembali memutar kelima album tersebut kemudian mempelajari kembali lirik-liriknya. Saya bersungguh-sungguh, tidak mengasal-asalan lagi. Dan jujur, saya akui, hingga saat ini, saya masih dengan keras kepala menyebut diri saya sebagai omnivora musik. Hm, dasar remaja labil.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar