|
Gambar dari Google |
Pada suatu hari saya
menemukan buku— yang menurut saya ini aneh— di kamar abang sepupu
saya. Judulnya 13 Wasiat Terlarang, gila, padahal seingat saya abang
saya yang buncit kekar itu sangat membenci segala hal tentang
baca-membaca. “Aku wis pinter” Aku sudah pintar, katanya
berkali-kali setiap dinasehati agar gemar membaca. Nah, anehnya itu,
mengapa buku ini ada di sini? Hahaha. Setelah berpikir panjang dan absurb tadi,
saya buka saja buku itu. Begitu menggurui. Dan tebakan saya benar, ini adalah buku motivasi! Tentang cara berbisnis pula.
Saya adalah anak muda yang sangat membenci segala hal tentang motivasi. Bagiku,
motivasi datangnya itu ya cuma dari diri sendiri, motivator itu ya
diri sendiri. Karena merubah diri menjadi lebih baik itu mustahil
bila orang lain yang melakukan. Ya siapa lagi kalau bukan diri
sendiri? Segera saya tutup lagi buku itu, eh, saya malah dibikin
penasaran karena membaca sesuatu yang menarik di daftar isi;
“Pertama-tama, tertawalah”. Saya buka dan baca lagi, ternyata
buku ini enak buat disantap siapa saja (dalam artian bukan hanya
pebisnis). Tetapi saya tidak akan menjelaskan semuanya di sini, hanya
bagian tentang tertawa saja. Oke? Mari lanjut.
Konon, tertawa bisa
mengaktifkan otak kanan, mencairkan suasana, mempermudah urusan,
membikin awet muda dan ba-bi-bu. Yap! Saya sangat setuju dengan paman
Ippho Santosa! Tertawa itu sangatlah penting! Dan konon, paman Ippho
adalah motivator kedua yang saya percayai setelah diri saya sendiri
karena ternyata dia adalah orang yang cengengesan pula. Hahaha!
***
Aku ingat betul bagaimana
rentetan hal yang bisa membikin otak jebol terjadi dan mati satu
persatu pada beberapa bulan lalu. Tepatnya dalam semester tiga. Mulai
disiksa deadline tugas, dihajar gigi kumat, hingga diserang
habis-habisan secara psikologis oleh ibu kos yaitu dengan
terus-terusan menagih paksa bayar kosan. Tentang masalah-masalah
bedebah lainnya bisa anda ketahui secara tajam setajam mulut
ibu
kosan di
sini.
Semester tiga memang telah
berakhir tiga minggu yang lalu, tentu tidak semudah itu berlalu.
Banyak sekali peringatan-peringatan yang membuat saya mengerti bahwa
hidup tak selalu berarti apa-apa saja yang kita mau. Hidup tak bisa
kita lalui dengan
sak penake dewe. Terkadang kita juga harus belajar
menerima apa yang memang seharusnya kita terima meski kita tidak
menghendakinya. Sebut saja Rintangan. Perihal jalan yang kita tempuh,
itu sepenuhnya hak kita. Tetapi kalau yang disebut rintangan, itu
mutlak urusan Tuhan. Tak dapat kita sangkal.
Saya adalah seorang
mahasiswa di salah satu perguruan tinggi negeri di Surabaya dan
dengan bedebahnya menempuh jurusan bahasa dan sastra Indonesia. Entah
saya harus bersyukur atau mencaci karena telah masuk di jurusan yang
sebenarnya (agak) salah ini. Dari kecil saya mencintai gambar dan
lukisan, tetapi setelah besar, saya malah diharuskan untuk menikahi
tulisan. Aduh
cuk, sepertinya saya memang harus mencaci, tetapi apa
dikata, bersyukur ternyata memang lebih menyenangkan. Ternyata menulis tidak
menyeramkan seseram perut buncit ibu kosan. Tetapi lantas, rasa
syukur itu juga dibarengi dengan sedikit rasa sebal. Di jurusan saya
terdapat dua prodi, pendidikan dan sastra, dan saya masuk di prodi
pendidikan. Uwasu! Itu kan berarti bahwa saya didorong agar menjadi seorang guru yang PNS itu kelak. Iya
kan?
Waduh, membayangkan saya memakai seragam dinas saja sudah
membuat saya tertawa sampai perut mual, apa lagi membayangkan jika nantinya
saya diharuskan untuk membentuk karakter setiap anak bangsa agar
berbudi luhur, beriman, bertaqwa dan tidak menjadi generasi penerus
bangsa yang bengal nantinya. Sedangkan semua karakter (baik?) itu
sama sekali tidak ada pada diriku. Hahaha. Maka satu-satunya hal yang
patut saya syukuri adalah, bahwa, ternyata saya bukan satu-satunya
pria cabul yang nyasar di prodi pendidikan! Hore!
Ternyata ada juga
beberapa pemuda yang sebelas dua belas dengan saya. Miris sekali memang.
Kami sama-sama makhluk nokturnal penikmat malam hingga adzan shubuh
menjelang, manusia kriminal yang level kriminalnya hampir menduduki
puncak tahta (opo seh cuk!), pengoleksi bokep berdurasi berjam-jam
kelas monster (biasanya ketika dosen dan mata kuliah mulai bikin
perut kembung dan kepala pening, film seperti ini cukup untuk mengisi
waktu hingga perkuliahan selesai, kemudian buru-buru pergi ke kamar
mandi untuk …), juga pemalas tingkat racun yang bisa membuat dosen
jantungan mendadak.
Saya bersyukur memiliki kawan sekelas yang
memiliki banyak kemiripan (bukan berarti wajah). Antara lain
Akhadianto— kami memanggilnya mas Antok, kadang bang Ipul (apa-apa
selalu dinyanyikan), kadang juga bang Ridho Un-roma (brewok banget).
Pria mapan nan berbadan menggelambir ini suka mengkonsumsi CTM
sebelum tidur. Pipinya tembem seperti pantat tante-tante. Di
gerombolan badung kelas, dialah yang paling tua dan senior, sementara
yang lain lahir di tahun 1995, dia sudah lahir setahun setelah
Aristoteles wafat. Haha. Kemudian ada Jauhari— kami memanggilnya
Joe. Joe ini memiliki rambut yang sangat kribo dan sungguh memikat
(sentuh rambutnya, maka tangan anda akan terpikat dan sulit
terlepas). Dia tipikal pria idaman tante girang karena memiliki
banyak bulu dada. Selain alim, dia juga tampan. Ngomong-ngomong, dia
adalah putra kebanggaan jurusan kami. Putra JBSI. Dan yang terakhir
ada dua makhluk luar angkasa berbahaya yang menjadikan wanita sebagai
mangsa mereka, Lutfi— kami memenggilnya Upik, dan Wendo— kami
memanggilnya Wendo. Upik ini suka menonton video bule striptis
sebelum tidur, saya tahu karena saya sekamar dengannya sejak pertama
perkuliahan semester tiga dimulai. Dan Wendo, selalu merasa bahwa
dialah lelaki yang paling mengerti wanita di dunia. Oh ya, dia suka
ingusan kalo lihat tante molek.
So, be careful with ‘em girls.
Kami memang gerombolan pemuda yang biasa-biasa saja, suka bolos, suka
tidur, kebiasaan kami cuma ngerumpi ala ibu kosan bedebah di warung
kopi sana-sini. Berbuat apa saja yang sekiranya bisa menyepak jauh
rasa bosan, dan sepakan itu berbuah goal! Sebenarnya rasa bosan akan hilang seketika
ketika melihat muka mereka yang tipikal korban sodomi itu. Dan benar
saja, meski semester per semester sangat sulit merangkak dan banyak
rintangan kekar menghadang, mereka siap membantu, setidaknya untuk
membuat saya tertawa kapan saja. Dan ketika tertawa selalu
digampangkan dan dianggap sebagai hal yang aneh dan remeh oleh kebanyakan
orang, maka menurut kami— gerombolan si cengengesan-- itu sangat
salah. Bagi kami, tertawa adalah obat, yang paling mujarab tentunya.
Buat apa? Tentu ketika anda merasa bahwa diri anda adalah orang yang
terasing dan merasa bahwa di dunia ini sudah tak ada lagi yang peduli
terhadap anda (guatel bahasane), tertawa adalah jalan satu-satunya
untuk menertawakan itu semua. Sebenarnya, tertawa tidak
benar-benar mudah buat dilakukan. Benarkah? Tentu, tertawa memang
dapat dilakukan tanpa syarat, everytime and everywere. Tetapa tertawa
sudah menjadi semacam hal yang tidak dipentingkan, dianggap sia-sia
bahkan kurang kerjaan. Kasihan bener orang yang seperti itu. Padahal
tertawa itu jelas lebih enak ketimbang harus selalu serius dan mudah
beruban.
Segala puji bagi Tuhan, karena badai semester tiga telah
berlalu dan ternyata saya masih hidup. Saya heran bagaimana bisa saya
tidak mengulang satu pun mata kuliah di semester ini. Padahal saya
jarang masuk (setiap mata kuliah setidaknya sudah bolong empat),
jarang mengerjakan tugas, apa lagi belajar. Saya memang kurang berani
berucap bahwa saya ini orang beruntung, tetapi saya lebih tidak
berani lagi mengucap kalau saya ini orang pintar. Untuk mata kuliah
Statistika misalnya, presensi saya sudah bolong sekitar enam atau
tujuh kali kalau tidak salah— saking banyaknya saya bolos saya
sampai lupa sudah bolos berapa kali— tetapi saya malah dapat nilai B+.
Tentu ini sangat tidak adil bagi mereka-- para mahasiswa yang rajin belajar tiap malam
hingga menjelang UAS namun memiliki nilai yang “di bawah” saya.
Hahaha. Mas Antok, teman saya yang buronan om-om suka homo ini
mengirimi pesan pendek ketika liburan telah berlangsung: “Asu! Aku
entuk B tok cuk, wah gak adil iki, mene aku arep protes nang pak
Bambang.” Saya cuma dapet B. Ini tidak adil, besok saya akan protes
ke pak Bambang.
Pak Bambang adalah dosen statistika yang
ketika masuk, beliau selalu bersama asisten dosen yaitu bu Prima, sedangkan
pak Bambang selalu sibuk dan hanya masuk dua kali dalam satu semester.
Maka kesimpulannya, mata kuliah statistika kami diampu secara tetap
oleh bu Prima. Wajahnya memang tidak seseram ibu kos saya, tetapi
seperti dosen baru pada umumnya, bu Prima ini memiliki sangat banyak
aturan. Ketat. Harus bawa buku teks lah, harus membaca tiap malam
lah, yang telat keluar lah, dan lain-lain. Sedangkan saya? Buku teks
tidak punya, mana bisa membaca? Sudah gitu sering telat lagi, dan
pada akhirnya? Saya lebih sering bolos daripada harus masuk dan
beresiko disuruh keluar lagi karena telat. Benar, lebih baik keluar
sendiri daripada dikeluarkan. Hahaha.
Satu-satunya mata kuliah yang
bolongnya hanya tiga yaitu Apresiai Puisi yang diampu oleh bapak Jack
Parmin. Untuk mata kuliah ini, saya mendapat nilai A. Hanya tiga, yang lain berarti
lebih. Lebih herannya lagi, nilai mata kuliah PKn saya adalah A-.
Pendidikan Kewarganegaraan loh cuk, harus saya akui saya sudah bolong
empat untuk mata kuliah ini. Saya tentu heran sekaligus sangat
bangga, saya merasa sudah mengamalkan salah satu hal yang mencermikan
bahwa ternyata saya juga termasuk warga negara yang baik. Aih. Pacar
saya, sebut saja Bunga, dialah satu-satunya orang yang selalu
khawatir jika tahun depan saya akan mengulang begitu banyak mata
kuliah karena kebiasaan saya yang sering membolos. Makanya dia tak pernah lelah cerewet kepada pacarnya yang badung ini. Setiap
pukul 04:45 pagi dia rutin membangunkan saya yang betah melek
begadang dan rajin ngebo pagi buta ini. Karena setiap hari di
semester tiga, kuliah dimulai pukul tujuh tepat.
Mungkin menurut
kalian itu terlalu pagi untuk bangun, tetapi tidak bagi saya, karena
kontrakan saya— yang mirip seperti rumah Spongebob sehabis diserang
cacing besar Alaska— berpenghuni enam makhluk, belum termasuk
astral dan hanya memiliki satu kamar mandi saja. Dan lebih bedebahnya
lagi, salah seekor dari kami positif mengalami penyakit gangguan
mandi gila. Bagaimana tidak? Untuk mandi saja dia menghabiskan waktu
hingga berjam-jam tanpa peduli teman se-ordonya yang belum mandi akan
telat kuliah nantinya. Gila! “Lapoan ae se ngonoiku? Aku ae adus
ngeseng sak coline gak sampek sakmunu suwine.” Ngapain aja sih di
dalam? Saya saja tidak pernah selama itu kalau mandi. Ujar Upik. Saya
hanya tersenyum simpul saja menanggapi Upik yang sedang gusar, dan
tentunya sudah tidak sabar coli. Maka setelah banyak-banyak mempertimbangkan,
saya dan Bunga sepakat bahwa saya harus bangun sebelum jam lima. Harus! Tentu itu tak mudah bagi makhluk nokturnal paten seperti saya.
Padahal jam segitu itu biasanya saya baru mau tidur.
Maka dengan
mantap, saya memilih untuk tidak merubah kebiasaan saya yang
menyenangkan dan non-sehat itu. Begadang. Tentu sampai fajar
menjelang. Saya bemaksud agar tidak bangun kesiangan dan dapat mandi awal agar tidak ikut
serta dalam ajang rebutan kamar mandi di pagi buta. Tetapi ternyata,
itu tidak membantu sama sekali, saya tetap tertidur pulas sehabis
mandi dan akhirnya kegiatan haram macam bolos-membolos sudah tidak
bisa diantisipasi. Dan itu sangat sering. Hahaha. Bunga adalah satu-satunya makhluk Tuhan yang paling berjasa di semester
tiga saya. Entah bagaimana saya harus membalas kebaikannya, apakah saya
harus membangunkannya di semester empat kelak? Itu tidak masuk akal, dia
selalu bangun tepat waktu. Entahlah, soal kebaikanmu, biar Tuhan saja yang membalas ya bung? Hehe.
Dengan keadaan yang
seperti itu, tentu saya sangat girang bukan main ketika menyadari
bahwa mata kuliah saya lulus seratus persen. Meski pada mata kuliah
bahasa Sansekerta mendapat nilai C, saya tetap bahagia. Saya tidak
akan mengulang tahun depan. Biarkan saja di transkrip nanti ada nilai
C. Karena memang itu batas kemampuan saya dalam berbahasa Sansekerta. Saya tetap bersyukur,
meski banyak kawan saya yag ber-IPK sementara di atas rata-rata
kemudian memamerkannya dengan cara update status di Facebook maupun Twitter dan melihat kelakuan saya yang semakin brutal tak karuan ini,
saya tetap bangga, karena IPK saya hanya turun 0,01 dari IPK
sementara semester lalu. Penurunan yang sebenarnya nyaris tidak
menurun. Terimaksih Tuhan.
Akhirnya waktu yang dinanti telah tiba.
Liburan musim dingin. Meski sebenarnya saya tak pernah tahu akan
melakukan apa saja waktu liburan nanti. Saya tetap sangat butuh itu,
waktu senggang, setidaknya untuk sedikit beristirahat dan menetralkan
kembali otak saya yang mulai
overload karena mangalami banyak
benturan di sela-sela badai 3
rd fucking semester. Pada
hari Senin— saya lupa tanggal berapa— saya dengan girang bersiap
untuk pulang. Membayangkan nanti saya bisa menikmati kembali banyak
sesuatu— yang tidak saya nikmati selama satu semester penuh— di
rumah. Seperti kopi susu buatan ibu, tempe goreng yang kriuk, sambal
terasi penggugah selera, dan lain-lain. Ah, jadi tidak sabar.
I’m
coming soon, sweet home!
Dari
Surabaya sampai Babat, saya menumpang secara gratis pada teman saya.
Namanya Yani, pria kelahiran Tuban ini se-jurusan dan se-angkatan
dengan saya. Perutnya tambun, kulitnya hitam maskulin seperti Chuck
Berry. Dia gemar sekali mengoleksi stiker-stiker berbagai merk brand
untuk kemudian ditempelkan ke helm. Suatu waktu saya pernah
menyumbang satu stiker di helmnya setelah membeli salah satu kaos
oblong kesukaan saya. Sekarang ini saya sedang menaiki bus jurusan
Babat – Bojonegoro. Busnya tidak bagus-bagus amat, tidak
menggunakan fasilitas seperti AC maupun kamar mandi, namun full
music. Yeah! Aku paham bila sang pemilik bus bermaksud baik yaitu
bahwa, dengan menyediakan fasilitas musik, maka perjalanan penumpang
akan menjadi lebih rileks dan bokong tidak akan terasa pegal. Tentu
itu sah. Tetapi mirisnya, musik di sini malah berkategori mengganggu,
membuat perjalanan menjadi menyiksa, dan bokong terasa menjerit
seperti habis ditendang sama Flatz*.
Sumpah itu dangdut. Eh, bukan.
Itu koplo. Aliran musik yang memasyarakatkan nafsu dan menafsukan
masyarakat itu diputar dari pertama saya naik hingga terakhir saya
turun. Seingat saya ada yang berjudul “Oplosan (Opo ora eman
duwite)”, kemudian “Wedus (mending tuku sate)”, juga
beberapa lagu dangdut yang dikoplokan. Mengapa saya sampai hafal?
Jelas, lagu yang dibuat tanpa nyawa atau dibuat asal-asalan pasti
sangat mudah dihafal, pun oleh anak TK. Ampun! Saya dengan teguh
telah mengutuk siapapun itu yang pertama kali memunculkan aliran
seperti ini. Saya tidak pernah paham tentang seluk-beluk musik
dangut. Tetapi setidaknya saya tahu, jika musik dangdut adalah musik
yang mengutamakan cengkok dan nada vokal yang rumit dari sang
penyanyi, liriknya juga kebanyakan berisi ajakan untuk berbuat
kebajikan, seperti lagu-lagu oleh pionir dangdut, H. Rhoma Irama.
Namun lain dengan Koplo, cengkok merdu dan lirik yang bersifat persuasif itu tidak ada sama sekali di sini. Yang ada hanyalah
body aduhai sang penyanyi dengan vokal yang pas-pasan, asal bisa
mendesah dan bisa menarik perhatian para lelaki hidung belang, dialah
yang nomor satu. Maka dari itu, saya tidak pernah menganggap koplo
itu dangdut dan sebaliknya.
Dan ketika keadaan mulai menyiksa seperti
ini, maka satu-satunya penyelamat yang membela kebenaran adalah,
headset! Saya membuka tas, mengobrak-abrik isi tas. Hei! Headsetku
mana? Asu! Pasti tertinggal di kamar kos. Oh tidak! Tamatlah riwayat
saya. Selain banyak-banyak mencaci karena musik koplo, saya juga
harus menahan isi perut saya yang nyaris saja keluar karena guncangan
yang luar biasa. Jalanan di sepanjang Babat – Bojonegoro memang
masih penuh dengan lubang. Dan bus yang saya tumpangi adalah bus yang
bangga dengan jargon “sak mlakune ban” atau “terserah ban mau
ke mana berjalan”. Maka keadaan dalam bus pun menjadi begitu chaos
dan menyeramkan. Para penumpang tampak sangat was-was, berkeringat
dingin, dan dihantui momok mati berjamaah dalam bus. Semuanya
berpegangan, menahan nafas, memanjatkan doa kepada Tuhan, dan memaki
sang supir. Anjing bener!
Ada seorang bapak entah siapa namanya yang
duduk bersebelahan dengan saya, bukannya ikutan was-was, eh, dia malah
cengengesan melihat tingkah penumpang lain yang sedang ketakutan.
Sesekali kita saling pandang (tolong jangan membayangkan adegan ini
terjadi secara slow motion kemudian ada bunga-bunga merah muda
bertebaran dan lagu cinta yang berkumandang seperti adegan klasik
dalam FTV. Itu menjijikkan), kemudian kami tertawa terbahak menikmati
kegaduhan— yang menyenangkan— yang terjadi dalam bus. “supire
juancuk! Haha” ujarnya dengan kelakar. Aku hanya bisa mengiyakan
perkataan sang bapak dan ikut menjancukkan supir yang menyupirkan
jancuk itu. Saat saya turun, bumi terasa bergoyang, aku hampir ambruk
karena masih merasakan pening di kepala. Saya hanya bisa menertawakan
kejadian barusan yang “one step closer to death” banget.
Setidaknya saya masih bisa bersyukur karena masih bisa hengkang dari
bus dalam keadaan hidup. Dan tentunya saya masih bisa bersyukur
karena masih diberi kesempatan untuk tertawa, membayangkan betapa
paniknya para penumpang yang masih terpenjara dalam bus sialan itu.
Hahaha.
***
Pukul 18.45. Suara eyang
Ozzy sang dewa kegelapan lamat-lamat terdengar memikat melalui
headset berumur senja yang sedang hikmat tertancap di kuping sejak
selepas maghrib tadi. Di luar mungkin masih begitu lembab karena
hujan yang masih belum lama reda. Sedang tidak terlalu sulit menebak
apa-apa saja yang dilakukan para penduduk desa saat seperti ini,
kebanyakan pasti sedang menonton sinetron yang memasyarakatkan racun
dan meracunkan masyarakat itu. Saya jadi prihatin. Karena
satu-satunya adik kandung saya yang berjenis kelamin laki-laki itu
juga sangat teradiksi oleh sinetron kampungan itu. Dan mungkin
tingkatannya hampir mencapai over dosis. Ya Tuhan, sinetron terkutuk
macam apa ini? Yang dengan bedebahnya meracuni pikiran orang-orang
awam dan anak kecil nan tidak berdosa.
Adik saya baru kelas 5 SD,
namanya Dika. Dia sangat gemar menoton sinetron Ganteng-ganteng
Serigala. Semua embel-embel mengenai sinetron itu disukai olehnya.
Saya sempat miris ketika melihat adik sepupu saya— namanya Messy—
datang main ke rumah kemudian mereka bermain perang-perangan. Di
sini, karakter Power Ranger merah maupun putih sudah bukan menjadi
hal yang akan diperebutkan lagi, tetapi karakter Tristan yang
vampire dan Galang yang serigala itulah yang akan menjadi rebutan.
Dan lebih mirisnya lagi, saat saya baru saja sampai rumah dengan hati
gembira, hampir mati akibat serangan jantung karena melihat stiker
murahan bergambar wajah imut dan menjijikkan salah satu bintang
sinetron tersebut nempel di bagian luar pintu kamar saya.
Jancuk! Menggelikan! Benar-benar terkutuk kau Aliando! Untunglah saya
bergegas mencopot kemudian segera membakarnya dengan penuh memaki
sehingga nafas saya yang semula sangat sesak dapat kembali lega dan
teratur. Gila bener ini si bocah. Sepertinya sebagai anak tertua di
rumah, saya gagal memberikan contoh tayangan yang baik kepada
adik-adik saya. Ah sudahlah, mungkin mereka memang belum cukup dewasa
dan belum cukup tahu bagaimana busuknya tayangan televisi Indonesia.
Lagu selanjutnya, masih dari Black Sabbath, Snow Blind. Hey, ternyata
bukan! Ini bukan Snow Blind yang biasanya dinyanyikan secara ‘ngalem’
dan memikat oleh eyang Ozzy itu, ternyata lagu yang sedang saya
dengar ini adalah System Of A Down yang membawakannya. Musiknya lebih
cepat dan menghentak (mungkin karena dibawakan oleh para
preman Armenia). Saya semakin betah di rumah saja, di desa
saya masih terdapat persawahan yang lapang dan setidaknya masih ada
sekitar ratusan pepohonan— dulu ada ribuan-- yang membuat desa saya
terlihat asri dan hijau. Penduduknya jelas, mayoritasnya adalah bapak
dan ibu petani yang gagah dan berkharisma agung. Sedang enak-enak menikmati lagu, tiba-tiba
ada sebuah pesan pendek yang saya terima. Itu dari teman saya yang
mengajak ngopi: “Jancok, ngocok nang kamar ae, ayo ngopi.” By:
Gembel. Aku hanya tersenyum tampan— meski aku buruk rupa—
menanggapi pesan dari si buncit tadi, tak kubalas, maaf mbel, aku sedang malas
keluar, kulanjut saja aktivitasku mendengar lagu. Selang lima menit,
saya kembali mendapatkan pesan pendek. Masih oleh Gembel: “Wo
jieeemmb**o**t.” Kali ini saya sedikit lebih cengengesan
menanggapi short massage tersebut dan membalasnya, setelah aku
bertanya macam ‘di mana?’ dan ‘apakah sekarang?’ hingga
akhirnya Gembel yang bermuka arogan dan berhati dangdut itu
misuh-misuh karena saya kebanyakan nanya.
Kami akhirnya janjian di
salah satu warung kopi di desa kami. Di sana pasti sudah banyak
sekali orang-orang yang sudah berkepala tiga atau empat bercengkerama
masalah pertanian dan ladang. Dulunya itu adalah warung kopi
langganan bapak-bapak karena tempatnya yang asri dan nyaman hingga
kemudian kami— gerombolan si darah muda— mengacau dan menyerang,
bapak-bapak terkadang harus menutup kuping dan banyak-banyak
beristighfar karena kami yang sering membuat kegaduhan. Haha. Baru
sampai di warung. “Wah, iki lho master skak wes teko.” Wah, ini
lho master catur sudah datang. Teriak mas Romli, pemilik warung. Dan
benar dugaan saya, di salah satu meja tempat menaruh kopi sudah ada
dua papan catur yang tergelar dan dua orang yang terlihat mikir keras
sedang berhadapan.
Saya memang sangat menyukai permainan catur sejak
saya kelas empat SD, sebelum itu saya sangat membenci permainan catur
kerena belum bisa. Begitulah saya, kalau belum bisa melakukan ya
bisanya cuma memaki. Hehehe. Di desa ini kemampuan saya menggerakkan
bidak-bidak catur memang mendekati kata lumayan. Meski saya adalah
orang yang malas belajar tentang mata kuliah, tetapi saya sangat
gemar dengan permainan otak seperti catur, mengisi teka-teki silang,
tebak gambar, dan lain-lain. Ada yang bilang master catur segala lagi
(duh, sesatnya mereka yang bilang. Semoga cepat disadarkan). Belum
lama melihat, paklek Wadhi yang berkumis tebal itu telah tumbang oleh
paklek entah siapa— orang-orang memanggilnya pak’e Pan. Permainan
selesai. “Nyah kilho nek ape main.” Nih kalau mau main, saya
ditawari olehnya. Maka dengan girang saya segera menganggukkan kepala
kemudian duduk di hadapan paklek pak’e Pan.
#Round 1: Dari pertama
saja saya sudah bisa mengobrak-abrik pertahanan paklek pak’e Pan
yang sebelah kanan dengan kuda dan menteri. Oh ya, dalam permainan
catur, saya sangat menyukai kuda sebagai lakon atau dalang penyerang utama,
karena selain sulit ditebak, langkah kuda juga tiada yang bisa
membendung. Saat sedang asyik main, tiba-tiba muncul Hari, sosok
penampakan keling yang membenci permainan catur. “Kayu ae dipikir
nemen-nemen. Koyok mikir negoro ae.” Kayu saja kok dipikir serius,
kayak mikir negara saja. Katanya ketus. Kami— saya dan paklek pak’e
Pan— hanya tersenyum cool menanggapi bocah mesum tadi dan tetap
melanjutkan permainan kami yang sudah mulai seru. Sebenarnya saya
sangat membenci perkataan yang menyakitkan hati seperti itu. Saya tak
habis pikir, memangnya hubungan kayu sama negara itu apa toh? Bodoh
sekali kan? Iya, bagi saya, siapa saja yang bercakap bahwa catur
hanya sekadar tentang kayu saja itu sangatlah bodoh dan awam. Dan
satu-satunya alasan yang tidak akan meleset adalah, itu karena mereka
sama sekali tidak bisa main catur. Itu sangat masuk akal.
Dulu waktu
kecil saya juga membenci permainan catur karena saya tidak bisa,
tetapi setelah belajar— dengan cara melihat— pada teman-teman
saya, lama kelamaan saya bisa. Malahan, sekarang saya lebih mencintai
catur melebihi mereka. Saya suka bermain catur meski pun saya akan
kalah. Itu tak apa, setidaknya otakku yang jarang kugunakan ini sudah
ada kegunaannya untuk sekarang ini. Jelas, saya dan bahkan semua
orang yang sangat suka bermain catur, akan sangat sukar bila ada yang
menghina permainan catur itu adalah permainan tentang kayu saja.
Permainan sia-sia berpikir dan lain-lain. Padahal permainan catur
adalah permainan bagi mereka yang berotak cerdik dan licik,
membutuhkan strategi yang jitu agar menang, dan yang terpenting, kita
harus sangat teliti. Karena jika tidak, kita akan bernasib sama
seperti paklek Wadhi yang berhasil takluk oleh paklek pak’e Pan dan
hanya bisa berkata menyesal: “Aduh, lali aku nek nang kono enek
ster.” Aduh, saya lupa kalau di situ ada menteri. Hahaha.
Sudahlah,
intinya saya tidak suka mendengar orang— siapapun itu— yang
merendahkan dan meremehkan permainan catur. Dan satu lagi, mungkin
saking bodoh dan awamnya, mereka tidak tahu bahwa sekarang sudah ada
teknologi catur berbahan plastik (tidak menggunakan kayu lagi).
Mungkin lebih baik jika mereka jangan sampai tahu, karena saya tidak
bisa membayangkan kalau saja mereka sampai ngomong: “Plastik kok
dipikir nemen-nemen, koyok mikir negoro ae.” Lah, memangnya
hubungan plastik sama negara itu apa? Hahaha sudahlah, mari
kembali ke permainan. Akhirnya, setelah pasukan-pasukan saya melewati
masa kritis selama beberapa menit, sang raja dari kubu lawan yang
sudah pasrah dan menunduk getir— karena sudah diambang kematian—
harus rela mengibarkan bendera putih. Saya menang! Dan tertawalah
saya. Hahaha. Mari lanjut paklek! #Round 2: ...
***
Bolehkah saya bersyukur
sekali lagi? Tolong jangan bosan mendengar kalimat syukur dari saya.
Karena mungkin, hanya itu yang bisa saya lakukan. Terimakasih banyak
Tuhan. Semester tiga telah banyak memberi pelajaran kepada saya.
Seperti jangan lupa sikat gigi malam agar tidak sakit gigi, jangan
lupa bersedekah agar rejeki lebih lancar, juga jangan lupa
membersihkan kamar agar tidak banyak nyamuk, dan yan terpenting,
jangan terlalu berambisi yang sekiranya itu dapat membuat
persahabatan kalian rusak (seperti tidak mau menemani teman yang
membolos, tidak mau menemani teman yang begadang, teman yang asyik,
dan lain-lain), dan oke, sepertinya itu pelajaran yang berharga
sekali. Sudahlah, saya sudah ngomel terlalu banyak. Lebih baik saya
sudahi saja tulisan acak-adul ini sampai di sini! Selamat menikmati
liburan cuk, selamat bersenang-senang. Untuk kali ini saja, tolong
iyakan ajakan saya untuk tertawa bersama. Mari tertawa! Hahahaha! Oh
ya, sambut hangat untuk semester empat mendatang. Saya sudah tidak
sabar untuk kembali bertarung!
“Let’s just laugh. We can never do
anything about anything, anyway
Whatever will be, I guess we’ll see. So
let’s just laugh.”
(The Lemonheads)
Post Script: Kalau nanti aku belum pintar, jangan pernah bosan membangunkanku ya bung? :D
*Flatz: Karakter dalam
kartun Spongebob yang gemar menendang bokong