Tengah malam itu sangat sepi, segalanya
sepi. Tak seperti malam biasanya saat aku baru bangun tidur tengah
malam seperti ini. Coba siapapun bayangkan, betapa tabu jika ketika
pertama kau membuka mata dari lelapmu, dan kau tak mendengar suara
apa-apa, bahkan suara jangkrik yang biasanya jemangkrik sangatlah
sulit kau jamah dengan pendengaran telanjang; semak-semak yang
biasanya gemrisik diterpa anginpun ikut-ikutan senyap. Aku hanya
mendengar suara remang-remang lagu dari grup band rock Social
Distortion yang mungkin berasal dari sebuah headset yang kupasang
di telingaku sebelum aku tidur tadi sore; yang kini telah lepas dari
telingaku. Ya, memang benar-- Ya, aku memang tak bisa tidur jika tak
mengenakan headset untuk mendengarkan lagu-lagu bernuansa rock, maka
sebelum tidur, aku selalu memasang erat benda tersebut sesaat sebelum
terlelap, dan pada saat bangun, aku selalu menemui headsetku telah
terlepas. Segeralah aku mengambil ponsel tempat kutancapkan headset
tadi dan mematikan pemutar suara. Nah, sekarang baru, tak ada suara
apapun. Benar-benar senyap dan mencekam. Jika kubilang, ini seperti
kota berhantu yang sama sekali tak berpenghuni. Entahlah, mungkin tak
seseram itu. Aku segera beranjak dari tempat tidurku; melepas semua
pakaianku; meraih handuk dan menuju kamar mandi. Tak usah heran, aku
memang memiliki kebiasaan mandi tengah malam seperti ini. Setelah
mandi, aku keluar untuk mencari makan tengah malam. Kebetulan, di
daerah yang aku tempati kini, selalu ada penjual nasi goreng hingga
pun tengah malam langgananku. Maka aku tak perlu bingung-bingung
ketakutan kelaparan di tengah malam sepi seperti ini.
Tengah malam itu aku jalan kaki.
Benar-benar sepi, seperti kota yang setengah penduduknya adalah
vampire, sehingga para manusia enggan keluar tengah malam seperti
ini, bahkan jauh sebelum tengah malam hari. Mungkin para ayah dan ibu
sedang sibuk menidurkan para buyungnya sembari menyandang golok di
tangan dengan maksud berjaga-jaga, mungkin ada juga yang sibuk
memasang beberapa balokan kayu di pintu dan jendela dengan maksud
supaya vampire tidak bisa masuk dalam rumahnya dan mungkin, ada yang
bersujud sembari memegangi kaki patung dalam gereja yang dianggapnya
bisa melindunginya dari serangan vampire. Dan kalaupun ada yang di
luar, mungkin itu hanya beberapa gelandangan berrambut panjang gimbal
yang menyanyi-nyanyi di pinggiran jalan kota di samping tong sampah
sembari menghisap asap rokok bekas yang mereka punguti dari tong
sampah di dekatnya, seakan-akan menantang para vampire untuk segera
menebas mereka. Namun nyatanya, mereka malah selalu terlihat aman dan
tak ada satupun gelandangan yang diberitakan mati disantap vampire.
Apa iya vampire itu mirip manusia? Makan saja kok pilih-pilih?
Entahlah, mungkin kesepian bukanlah halangan bagi mereka yang merasa lapar, bahkan kelaparan, seperti aku. Aku berjalan seorang diri menyusuri gang yang sempit dan anyir. Oh ya, sepi. Aku menuju warung penjual nasi goreng yang biasanya kusinggahi tengah malam seperti ini. Aku memesan satu piring nasgor dan melahapnya seperti vampire yang baru bangun setelah ribuan tahun berhibernasi. Beratus-ratus butir nasi goreng habis tanpa sisa. Setelah makan, aku menuju warung kopi di pinggir jalan raya. Mungkin di sana lebih ramai, pikirku. Sesampainya di sana. Sialan! Lagi-lagi sepi. Ah, nikmati saja, toh mungkin kesepian bukan halangan bagi mereka yang ingin menikmati malam dengan ber-caffeine ria di warung kopi langganan, seperti aku. Setelah memesan kopi, aku duduk bersila di bangku luas berbahan dasar bambu. Aku mengirim pesan singkat kepada kekasihku yang mungkin kini telah asyik bermimpi denganku. “Sayang, aku rindu.” Kenapa? aku toh memang dalam keadaan sangat merinduinya setelah beberapa hari tanpa temu. Kemudian membaca koran; sejenak menyulut rokok; sesekali menyibak rambut yang menutupi keningku; meludah ke arah got jika bosan. Ya, bosan. Di Koran tak ada yang menarik, sudah keseribukiankalinya aku membaca kasus pencabulan di bawah umur. Memuakkan. Kembali kuludahi got di sampingku. Kulipat koran kemudian kuletakkan. Kemudian ku pergi setelah membayar secawan kopi dan beberapa batang rokok yang telah kubakar dan kuhisap tadi.
Pulang
saja, berjalan lagi. Seperti pemburu vampire— Oh bukan, sejujurnya
aku malah lebih suka dikata sebagai vampire yang berbalik memburu
para pemburunya. Aku pasti akan sangat bangga dengan diriku sendiri.
Aku akan melindungi dan mempertahankan garis ras keturunanku supaya
tak semudah itu dilenyapkan oleh para pemburu. Aku tidak akan terima
jika dikata sebagai vampire pengecut. Camkan ini! Aku akan kebal dari
peluru mereka yang berbahan perak murahan itu; aku tak akan begitu
saja lenyap oleh sorotan sinar ultraviolet buatan mereka; aku tak
akan lebam oleh bom rakitan mereka; aku tak akan kenapa-kenapa oleh
senjata buatan mereka. Hahaha, aku hanya akan tertawa terbahak-bahak
melihat wajah mereka yang dipenuhi rasa keheranan. Aku akan terus
menghantui mereka. Aku akan terus hadir dalam mimpi buruk mereka.
Bahkan ketika mereka lari ketakutan, aku tak akan melepaskan mereka.
Aku akan mengejar mereka. Aku akan menerkan mereka dari belakang
seperti raja belantara dan mencabik-cabik mereka tanpa sedikitpun
rasa kasihan. Persetan dengan anak-cucu mereka yang menangisi
kematian mereka, aku tak peduli. Lalu bagaimana dengan kawan-kawanku
yang telah mati dihabisi mereka? Apakah aku akan diam saja? Tentu
tidak! Balas dendam adalah sesuatu yang manis dan menyenangkan. Maka
segeralah aku menggoglok darah segar mereka. Dan tentunya, aku akan
menyisakan beberapa kantong plastik darah untuk anak -cucuku kelak,
agar mereka tahu, aku bukanlah vampire pengecut! Aku tak akan peduli,
aku tahu bahwa anak-cucu mereka pun pasti tak akan diam saja dan akan
berbalas dendam padaku. Aku siap menerima akan membalaskan dendam
kematianku. Loh, bagaimana aku bias mati? Entahlah, sebenarnya aku
juga tak begitu yakin. Tetapi siapa yang dapat menyangka apa-apa yang
akan terjadi kelak. Bagaimanapun juga, aku sama dengan bangsa mereka,
aku hanya partikel-partikel kotor yang diciptakan Tuhan untuk mengisi
kekosongan alam. Tentu aku bisa mati kapanpun sesuka Tuhan. Siapa
sangka, kelak anak-cucu mereka akan kebal terhadap seringai taring
tajamku, siapa sangka juga, kelak anak-cucu mereka memiliki senjata
yang jauh lebih canggih dari nenek moyang mereka yang darahnya tengah
asyik kucicip sekarang ini. Tapi sekali lagi, aku tidak gentar. Aku
bukan vampire pengecut! Toh jika aku memang benar-benar akan mati,
aku yakin anak-cucuku kelak akan membalaskannya. Aku yakin, anak-cucu
mereka juga akan berpikiran sama setelah membunuhku. Anak-cucu mereka
juga tidak akan pernah menyangka apa-apa yang akan terjadi kelak
lagi. Anak-cucu mereka juga akan berpikir bahwa mereka sama dengan
bangsaku, anak-cucu mereka akan berpikir bahwa mereka hanya
partikel-partikel kotor yang diciptakan Tuhan untuk mengisi
kekosongan alam. Tentu anak-cucu mereka juga bisa mati kapanpun
sesuka Tuhan. Siapa sangka, kelak anak-cucuku akan jauh lebih hebat
dan kebal dariku sehingga senjata anak-cucu mereka yang katanya jauh
lebih canggih itu tak lagi mempan, seringai taringnya juga jauh lebih
tajam dariku sehinnga anak-cucu mereka yang katanya kebal dari
taringku tak akan lagi kebal oleh taring anak-cucuku. Dan mungkin
akan seterusnya begitu. Yang bermusuhan tak akan pernah redam. Balas
dendam adalah hal terindah dan paling menyenangkan yang bisa
dilakukan. Maka dari itulah, aku menyebut kami sebagai
partikel-partikel kotor yang benar-benar sangat kotor.
“BRUGGG!!!”
Sialan! Memikirkan apa aku tadi? Aku sempoyongan bangkit dari jatuh
yang baru saja aku alami karena tersandung batu yang lumayan
berukuran besar. Ya, akibat melamun akan hal tak berujung tadi.
Permusuhan dan balas dendam. Hey! Apa ini? Darah segar mengalir di
kakiku? Loh, bukankah darah segar adalah santapan lezat bagi para
vampire? Lalu bagaimana jika tiba-tiba kemudian mereka menyerangku,
menerkamku dari belakang seperti raja belantara dan mencabik-cabikku
tanpa sedikitpun rasa kasihan? Lha, siapa peduli? Toh aku bukan
manusia pengecut!!! (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar